Sunday, June 30, 2013

Isi Dapur

Cerita kali ini dimulai dari sebuah dapur, ketika peralatan dapur, bahan masakan, dan segalanya di dapur bisa bicara. Mereka bicara ketika tidak ada orang di rumah, atau ketika orang rumah semuanya tidur pulas. Mereka tidak ingin orang rumah tahu kalau mereka bisa berbicara juga, layaknya manusia. Mereka suka bercengkrama, saling bertemu, dan saling berteman. Mereka yang berupa bahan masakan, sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Tidak mengenal lapar dan haus, karena yang mereka rasakan hanya sensasi dimakan atau diminum. Sensasi itu yang membuat mereka merasa bisa selalu hidup, walaupun mereka habis ditelan manusia.




Gelas, piring, garpu, sendok dan peralatan makan lain-lain hari ini punya jadwal untuk membersihkan diri. Hari ini adalah hari bersih-bersih bagi mereka. Mereka berkumpul di wastafel, mereka mandi bersama. Satu lagi, mereka tidak mengenal kelamin. Yang ada hanya ketertarikan antar peralatan jenis yang sama tapi memiliki karakter suara yang berbeda. Mereka membedakan pria dan wanita hanya melewati suara. 

Mikrowave, kompor, magic jar, panci dan alat-alat memasak hanya melihat-lihat sekitar. Mereka bertugas menjaga dan memberi sinyal apabila ada tanda-tanda manusia yang datang. Sudah biasa, dalam kehidupan di dapur dan kebersamaan, jadwal piket jaga adalah hal yang biasa.

Sayur-sayuran, buah-buahan, keju, kecap, dan bahan-bahan untuk memasak berada di dalam kulkas. Hanya  mereka yang paling menyenangkan hidupnya. Mereka hanya berada di zona nyaman, sangat nyaman. Kulkas yang dingin, pasti dimasak, kemudian dimakan. Ah, hidup mereka enak juga. Tapi sayangnya ternyata menjadi bahan masakan diperlukan suatu kejelasan, mereka sangat beresiko mengalami kadaluarsa, atau lebih bisa disapa dengan kebusukan. Siapa yang mau bahan masakan yang busuk? Mereka tidak peduli, yang penting mereka nyaman setiap saat.

Hari ini bahan-bahan untuk membuat minumanlah yang memiliki masalah. Lebih tepatnya, para minuman sachet. Sepertinya mereka sedang mencoba memutuskan sesuatu.

"Aku! Aku lah yang paling dibutuhkan oleh para anak muda. Siapa bilang anak muda tidak bisa menikmati aku? Banyak buktinya. Tidak hanya bapak-bapak tua yang menikmati aku. Anak muda yang suka nonton bola, anak muda yang suka mengerjakan tugas, dan anak muda yang suka bermain game online. Jadi akulah yang paling pantas jadi ketua yang baru!" Ujar Kopi Hitam mengawali perbincangan.

"Halah, itu cuma segelintir orang aja. Kamu tuh pahit banget, bagaimana bisa banyak yang suka? Paling yang suka minum kamu cuma orang-orang yang memang sudah pahit hidupnya. Jadi bagi orang yang pahit hidupnya akan bisa lebih menikmati minuman yang pahit." Sindir Jahe Wangi.

"Hey, kalau ngomong hati-hati ya! Mana buktinya? Lihat tuh, sekarang banyak di televisi, iklan-iklan kopi. Itu bukti kalau kopi menjadi gaya hidup manusia sekarang." Balas Kopi Hitam.

"Ehem. Yah, tapi bukan kopi hitam kan? Yang banyak iklannya kan White Coffee. Lihat saja." White Coffee berdehem.

Kopi Hitam terdiam.

"Kopi itu gak sehat. Kopi itu bikin deg-degan, micu penyakit jantung. Trus buat orang yang lambungnya lemah, minum kopi sama dengan bunuh diri bung. Jadi kalian para kopi, kalian pembunuh berbahaya. Sadar dong. Jangan bangga dulu." Kali ini Minuman Bubuk Buah yang berbicara.

"Weits, omonganmu gak berbobot cuy. Makanya nonton televisi dong! White Coffee gak bikin deg-degan, kan low caffeine. Terus juga gak bikin lambung meringis, kan low acid. Makanya ngomong tuh harus dibarengi dengan pengetahuan yang terkini." White Coffee membalas Minuman Bubuk Buah dengan mudah.

Kali ini Minuman Bubuk buah yang terdiam. Kalah argumentasi. Ini yang membuat White Coffee menjadi merasa menang, dan superior. Merasa hanya dia yang cocok jadi ketua majelis minuman sachet.

"Tapi walaupun seperti itu, tetep aja ada caffeine dan asamnya. Ini yang ngebuat kamu tetap menjadi sesuatu yang berbahaya bagi penderita penyakit jantung dan penyakit maag. Walaupun ada tulisan low caffeine dan low acid, tetap aja kopi identik dengan caffeine dan asam. Gak gampang ngerubah mindset manusia tentang hal ini. Kamu nyata gak menyehatkan!" Lawan Jahe Wangi.

"Iya, yang paling netral, paling bergizi, paling menyehatkan. Cuma Susu. Ada komentar? Aku rasa tidak. Ini sudah statement yang tak bisa dibantahkan." Susu berdiri tegak dan muncul dari belakang sachet-sachet yang beradu argument.

"Tapi sayang, kamu kebanyakan dinikmati oleh lapisan masyarakat yang balita ke bawah. Sayang. Pasarmu masih terlalu sedikit dibanding kami." Kata Minuman Bubuk Buah.

Jahe Wangi, White Coffee, dan Kopi Hitam menganggukkan kepalanya.

"Masa ah? Kalian harus perhatikan, sekarang aku banyak dimodifikasi dengan baik sehingga bisa dinikmati oleh orang-orang dewasa juga. Bahkan aku sering menjadi bahan-bahan tambahan, maupun utama, untuk mencipatakan makanan atau minuman yang baru. Ini adalah argumen yang gak terbantahkan yang lainnya. Dan asal kalian tahu, kalian terlalu banyak terkontaminasi sama bahan kimia. Manis kalian palsu! Dibuat-buat!" Susu tertawa

White Coffee, Kopi Hitam, Minuman Bubuk Buah meneguk ludah sendiri. Mereka tidak bisa membantah itu. 

Jahe Wangi tertawa. "Memang benar apa katamu, Susu. Tapi kamu cuma sekedar menjaga asupan gizi. Untuk daya tahan tubuh, tetap aku yang paling memegang peranan penting. Manusia sakit? Manusia gak akan bisa sembuh hanya dengan meminum susu. Jahe Wangi sepertiku solusi paling mantap. Sahabat ketika banyak yang gak enak badan."

Perang argumentasi terus berlanjut. Tapi mereka masih belum bisa menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis minuman sachet. Ketua tersebut yang akan mewakili minuman sachet dalam Pertemuan Dapur Besar. Yang menetapkan peraturan yang ada di dapur, dan juga menetapkan hak dan kewajiban penghuni dapur. Tak heran mereka terus menunjukkan sisi positif mereka.

"Kalian semua diam. Kalian tidak bisa dikonsumsi, tanpa aku. Kalian semua tidak berguna, tanpa aku. Kalian semua bergantung padaku. Ada komentar?"

White Coffee, Kopi Hitam, Minuman Bubuk Buah, Susu, dan Jahe Wangi tertegun melihat satu minuman yang datang. Padahal dia bukan dari sachet, tapi dia memang tergolong dalam golongan minuman. Ah, dia memang yang paling cocok menjadi ketua majelis minuman sachet.

Air putih tersenyum melihat kelima temannya bisa menerima kenyataannya. "Baiklah, ada yang ingin disampaikan di Pertemuan Dapur Besar? Ada keluhan? Saran? Aspirasi?"

Mereka berenam pun berbicara panjang lebar, menentukan nasib mereka sendiri. Pertemuan Dapur Besar memang menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para penghuni dapur.

Saturday, June 29, 2013

Biarkan Hujan yang Berbicara


Hujan memang menjadi anugrah terindah yang diberikan Tuhan bagi siapa saja yang mengerti. 

"Kamu kelihatan ganteng kok, walau basah kuyup gitu. Kamu gantengnya banget-banget pas nyetak gol tadi."

Untuk orang yang sentimentil seperti aku, melihat hujan seperti ini, membuka banyak kenangan. Baik yang tak ingin kuingat, juga yang aku ingin terus ingat.

"Kamu kenapa? Mukamu pucat. Kamu gak apa? Ayuk aku temenin ke UKS. Badan kamu demam banget loh."

Selain bagaimana indahnya butiran-butiran hujan yang turun, aku juga menyukai bagaimana hujan membawa aroma yang sungguh memberikan sensasi yang menyenangkan. Aku tidak tahan untuk tidak tersenyum ketika merasakan ini.

"Gak nyatet lagi ya? Sudah kuduga. Ini aku sudah salin ulang catatanku, biar kamu bisa gampang ngeliat catatanku. Tapi satu syaratnya, temenin aku cari es krim pulang sekolah nanti ya?"

Hujan semakin deras, aku masih diam terpaku. Berdiri di bawah rindangnya pohon ketapang, aku berteduh dari hujan. Bukan aku membenci hujan, lantas aku menghindari air hujan membasahiku. Tapi aku berteduh dari hujan karena aku ingin lebih menikmati tiap tetes air hujan yang turun. Aku tidak ingin membuat hujan yang jernih tak berdosa, mengenai aku yang telah banyak berlumur kesalahan.

"Aku habis putus dengan Raidana, beri aku waktu. Aku sedang tidak ingin bercanda. Aku memang sudah gak sayang lagi sama dia. Tapi putus bukanlah hal yang mudah."

Tapi, aku bohong. Kalau aku tidak ingin bercengkrama dengan hujan. Ingatkah kamu? Salah satu alasan aku menyukai hujan adalah hujan bisa mengerti aku. Hujan akan membantuku untuk tidak memperlihatkan aku yang sedang menangis di bawah hujan. Iya, aku sadar, aku memang lemah. Di bawah hujan lah sisi manusiaku bisa lebih membumi.

"Aku tahu kok, kalau kamu sayang sama aku. Kamu polos banget sih. Kamu gak bisa nyembunyiin apa yang kamu rasain. Aku bisa dengan mudah menebak kamu. Tapi, iya. Aku juga sayang sama kamu, Areta."

Aku pertama kali bertemu denganmu, juga di bawah hujan. Sayang, ketika itu kamu sedang bersama Raidana. Aku hanya melihatmu dari kejauhan. Ingin rasanya aku memukul Raidana, tapi itu bukan jiwa seorang ksatria. Bertindak sportif adalah salah satu sifat seorang ksatria. Percuma aku memaksamu untuk bisa menerima aku, tapi ternyata aku tidak bisa membahagiakanmu. Seperti Raidana membuatmu tertawa dari balik hujan. Raidana memang bisa menjadi ksatria untukmu.

"Areta, selamat ulang tahun. Selamat ya sudah 17 tahun, udah boleh nonton film yang macam-macam nih. Tenang, aku hanya bercanda. Semoga kamu bisa menggapai cita-citamu itu. Menari dengan sepenuh hati. Aku akan selalu berada di belakangmu. Mendukungmu."

Gawat, hujan mulai berhenti. Rintik hujan perlahan melambat. Aku belum puas melihat tarianmu, hujan. Aku belum basah, aku belum menari denganmu. Aku keluar, berhenti diam berteduh di bawah pohon. Aku harus menikmati hujan sampai hujan benar-benar berhenti. Aku takut kamu benar-benar pergi.

"Kamu berbeda. Kamu terlalu kekanak-kanakan. Sudah, aku lagi malas ngomong sama kamu."

Tapi, hujan tak pernah berbohong. Dengan jelas dia menunjukkan akan mendatangimu, juga dengan jelas dia menunjukkan akan pergi meninggalkanmu. Kamu menghentikan rintik hujanku, aku tidak bisa mempertahankanmu tanpa hujan turun di depanku.

"Kalau aku pindah, kamu bagaimana? Aku gak yakin kita bisa bertahan dengan jarak yang ada. Bagaimana?"

Walaupun hujan sudah berhenti, kamu tahu? Air hujan masih ada di sekitarku. Hujan meninggalkan jejaknya untuk menuntunku. Menuntunku untuk bisa menerima keadaan. 

"Kamu pasti bisa tanpa aku. Kamu bisa, Areta."

Aku memandang dalam genangan air yang mengelilingiku. Terbayang wajahmu, senyummu, dan kata-katamu. Kenangan selalu bergantung dari cara kita memandangnya. Kamu masih tetap manis dari pandanganku. 

Ah, iya aku harus bergegas. Acara pertunanganmu sebentar lagi dimulai. Aku memandang sebuah kotak yang terbungkus oleh kertas bercorak indah, menunjukkan kalau hujan juga bisa membentuk corak yang indah dalam suatu karya seni. Di atas corak tersebut. Kamu ada di sana.

"Selamat berbahagia, Raidana dan Tinara."

Friday, June 28, 2013

Banjir

Gelap, lalu terang. Itulah yang kulihat. Aku berada di sebuah kasur, aku merasakan sesuatu yang empuk di punggungku. Apa lagi selain kasur? Tapi, yang berbeda adalah badanku tidak bisa digerakkan sesuai keinginanku. Aku tidak kuat menggerakkan tubuhku. Aku menatap langit-langit ruangan dalam-dalam. Berpikir, apa yang terjadi padaku? Aku harus mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelum aku dibawa keruangan ini.

***

"Ayah!"

Aku mendengar teriakan anakku. Aku yang berada di lantai dua rumahku, bisa mendengar anakku berteriak di bawah. Bahkan, setelah itu aku bisa mendengar suara derap langkah anakku yang berlari di tangga. Aku sudah berpikir macam-macam, tidak biasa Dian, anakku berteriak seperti itu. Teriakannya sungguh mengerikan. Aku yang sedang tiduran dan menonton televisi, langsung terbangun melihat ke arah tangga rumah.

"Ada apa nak?"

"Banjir, Yah!"

Suara gemuruh datang menerpa. Kamu tahu? Inilah saat yang paling menegangkan buatku.

Anakku benar, banjir bandang datang mengenai rumahku. Tidak, sepertinya tidak hanya rumahku, banjir ini datang menggilas kota ini, kota yang sudah langganan banjir bandang. Tapi, aku tidak pernah mendengar suara gemuruh sekeras ini. Banjir apa ini? Atau tsunami kah? Aku tidak mengerti. Aku berdiri begitu melihat anakku sampai di lantai dua.

"Ibu mana?" Aku berteriak, panik.

"Aku gak tahu. Mungkin di kamar bawah, lagi tidur. Aku lupa. Maaf , Yah." Anakku terisak. 

Braak.

Suara keras tiba-tiba terdengar. Aku buru-buru melihat keluar, aku berlari ke arah balkon. Melihat keadaan di luar, ini sungguh sulit dipercaya. Sebuah banjir menerjang kota kami. Gelombang air datang dari arah utara, sungai kota memang ada di utara, dan sungai itu yang sering jadi masalah di kota kami. Tapi, banjir sebesar ini belum pernah aku rasakan sedari aku kecil tinggal di sini. Ini mengerikan. Gelombang air itu datang setinggi satu setengah meter, dengan kecepatan yang cukup mengerikan. Ah, Karina! Karina masih di kamar!

"Kamu tunggu di sini. Kamu ke balkon, lihat terus kondisi banjirnya. Tolonglah siapapun yang butuh pertolongan. Jangan nangis, jangan takut, jangan panik. Ingat Ayah, kamu laki-laki. Kamu kuat! Ayah gak pernah ngajarin buat jadi anak yang lemah." Aku berkata pada Dio, dia anak laki-laki ku satu-satunya. Masih berumur 12 tahun. Tapi aku tahu dia kuat. Aku percaya itu.

Dio mengangguk, sambil menahan tangisannya. Aku tahu ini sangat mengerikan buat dia, aku pun seperti itu. Tapi ini kondisi darurat, dia harus bisa menjadi dewasa sesaat di kondisi darurat. Aku berlari sekuat tenaga ke arah tangga. Ini tidak mungkin suara keras tadi, ternyata adalah pintu depan rumahku. Sekarang pintu itu tersangkut di tangga. Ini menghalangiku untuk turun ke bawah. Lantai satuku didominasi oleh banjir, banjir yang gelap, terlalu banyak membawa kotoran, tanah, dan material lain yang ada di sungai dan kota ini.

Aku menendang pintu itu agar tidak menghalangi tangga turun, tapi sepertinya tidak terlalu banyak berpengaruh, banjir setinggi satu setengah meter tersebut membuat harapanku bertemu Karina semakin kecil. Rumahku porak poranda oleh banjir. Aku tidak boleh menyerah. Kemudian aku menendang pintu itu kembali, sehingga pintu itu terdorong ke arah dapur di belakang tangga. Jari kakiku berdarah, aku terlalu keras menendang pintu tersebut. Air banjir itu masuk dari pintu depan, dan tangga yang sekarang kuinjak ada di depan ruang tamu dan pintu depanku. Kamarku dan Karina masih tertutup. Aku harus lekas ke sana. Tapi banjir deras ini membuatku ciut. Seandainya wajah manis, dan senyuman yang menyejukkan Karina tidak muncul dipikiranku, mungkin aku sudah pasrah menerima keadaan ini. Aku melompat, terjun ke dalam air.

Air sangat deras, aku salah dalam menebak. Aku terbawa oleh arus deras ini sampai ke dapur rumahku. Air sempat masuk ke dalam hidungku, itu yang membuatku tambah panik. Semakin aku panik, semakin aku terbawa arus air. Sesaat, ada balok yang untungnya tidak terlalu besar menghajar kepalaku, balok itu terbawa arus air dari luar. Sakit sekali. Aku terdiam sejenak, untung saja aku tertahan oleh tembok rumahku yang menahanku untuk tidak terbawa arus kembali. Aku mengelus kepalaku yang terkena balok itu, cairan merah tertempel di ujung jariku.

Aku mendengar isak tangis Dio, dia berada di tangga. 

"Dio, jangan nangis. Ayok kamu kuat."

"Ayah dimana?" Jawab dio sambil terisak.

"Ayah dibalik tangga, dekat dapur. Terbawa arus. Ayah susah mendekati kamar Ibu. Tapi tenang, Ayah akan berjuang untuk menolong Ibu."

Dio menangis lebih keras. Aku harus mendekati Dio. Aku berjalan pelan, menyusuri tembok, agar aku tidak terbawa arus air. Meraih balok kayu penyangga tangga untuk bisa bergerak ke arah Dio di tangga. Arus deras ini menghalangiku untuk bisa berjalan dengan lancar. Pelan, tapi akhirnya aku bisa meraih tangan Dio setelah berhasil mencapai tangga.

"Ingat, apa yang Ayah bilang di atas. Masih ingat tugasmu apa? Serahkan Ibu pada Ayah, kamu harus bisa menjadi pahlawan kebenaran di balkon atas. Mengerti? Memang tidak gampang, tapi tidak ada yang bisa menjadi seperti itu selain kamu. Ayah percaya sama kamu." Aku menatap dalam kepada Dio. "Jangan menangis lagi ya."

Dio menyeka air matanya. Sepertinya dia mengerti, dia adalah harapan setiap orang. Dia harus ada dan siap siaga menghadapi ini. "Ayah, hati-hati. Ini buat lap darah Ayah." Dio memberikan baju yang ada di badannya.

"Jangan panggil Ayah keren, kalau gak bisa nolong Ibu." Dio berlari menaiki tangga. Iya, nak. Kerenmu turun dari aku. Kamu pasti bisa.

Aku kembali fokus ke Karina. Tidak ada suara apapun dari dalam kamar, aku berharap Karina tidak apa-apa. Aku berlari ke atas tangga, melihat sapu, dan tongkat pel. Aku mengambil kedua barang tersebut, kubawa ke bawah tangga. Aku bisa menolong Karina dengan sapu ini. Aku mengikat sapu dan tongkat pel itu dengan menggunakan baju Dio, supaya bisa lebih kuat menahan derasnya air ini.

Aku menaruh tongkat gabungan itu, di sela pintu kamar Karina dan tangga yang memang tidak terlalu jauh untuk kujadikan jembatan sehingga aku bisa mencapai pintu kamar Karina. Aku memastikan kedua tongkat itu dengan memukul-mukulnya. Setelah yakin kalau itu cukup kuat, aku menggunakan tongkat untuk menyebrang ke pintu Karina dari tangga. Aku perlahan berjalan ke arah pintu, Karina bergantung padaku.

Aku sampai di depan pintu, ternyata pintu kamar tertutup rapat. Aku bingung bagaimana bisa membuka pintu ini. Aku pukul dengan keras juga tidak bisa. Aku tidak bisa menendang pintu ini, air membuatku susah mengeluarkan tenaga yang cukup untuk mendobrak pintu ini. "Karina, kamu di dalam?" 

Tidak ada suara balasan.

Aku kembali mendorong pintu sekuat tenaga, ternyata pintu bisa bergerak, walaupun sedikit. Pintu kamar ternyata terhalang lemari buku yang ada di kamarku dan Karina. Dari celah pintu tersebut aku buka dengan tenaga sisa yang kupunya. Aku sudah lemas, tenagaku habis dengan cepat. Air deras ini menguras tenagaku. Aku berhasil membuka pintu ini, walaupun celah yang kubuat tidak besar. Banjir juga masuk ke dalam kamar dengan ketinggian yang sama. Sepertinya air juga masuk dari jendela yang ada di kamar.

Aku melihat ke arah kamar, tempat tidur. Tidak ada Karina. Aku masuk dari celah yang cukup untuk orang dewasa itu, aku melihat ke segala sudut rumah. Tidak ada Karina. Aku kehilangan harapan. Dimana dia?

"Randi.."

"Karina! Kamu gak apa-apa?" Karina ternyata tersangkut di lemari buku yang menghalangi pintu tadi.

"Dingin.. Kakiku gak bisa digerakkan, gak ada rasanya."

Aku memeluk Karina, menggendongnya di bahuku. Untung saja aliran air sudah tidak begitu deras. Tapi masih tetap tidak bisa membuatku bergerak dengan leluasa. Aku bergerak perlahan, aku membuka lebih lebar lagi pintu kamar. Agar aku bisa melewati dengan Karina di bahuku, sepertinya kaki Karina patah. Aku tidak bisa melihat, aku hanya bisa merasakannya. Aneh tapi sudahlah itu tidak penting.

"Ibu!" Dio berteriak dari tangga.

Aku kaget, Dio masih di tangga. "Bagaimana keadaan di luar?"

"Beberapa naik ke balkon kita. Aku biarkan mereka, ada yang masih sadar. Aku khawatir dengan Ibu."

Aku kembali berpegangan dengan tongkat tadi, aku menyusuri tongkat perlahan. 

Kraak.

Tongkat itu patah. Aku dan Karina terbawa arus air. Kami melaju kencang ke arah dapur kami. Sepertinya tongkat itu tidak kuat menahanku dan Karina bersamaan. Aku harus diet setelah selamat dari sini. Aku tidak ingat apapun setelah itu. Rasanya semuanya gelap.

***

"Ayah sudah bangun?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari anakku, Dio. "Ibu bagaimana?"

"Aku memanggil orang yang masih sadar di balkon atas setelah aku menolongnya, untuk menolong kalian yang terbawa arus. Ayah dan Ibu pingsan setelah menabrak tembok, karena terbawa arus. Tapi tenang, gara-gara orang itu, Ayah dan Ibu selamat. Ibu hanya mengalami patah kaki. Tapi Ayah.."

Aku menatap dalam anakku. "Ya?"

"Ayah patah tulang punggung. Ayah terlalu parah ketika menabrak tembok. Ayah lumpuh."

Lumpuh ya? Masih hidup seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Ah, aku ingin lanjut tidur. Aku masih ngantuk. "Sudahlah, bangunkan Ayah kalau Ibu sudah sadar ya." Aku melanjutkan tidurku yang terpotong.

Thursday, June 27, 2013

Pasar Hantu

"Pasar hantu?" Aku berkata tidak percaya.

"Iya, serem kan? Aku aja takut pas diceritain Kana."

"Terus? Gimana, Fen? Duh, serem juga ya."

"Jadi, gini Dar. Pasar hantu itu selalu pindah-pindah. Pasar hantu akan muncul di waktu yang selalu gak diduga. Kadang pagi, kadang sore, kadang malam. Tapi gak pernah siang. Biasanya pasar hantu muncul di tanah-tanah kosong, atau di rumah-rumah kosong. Yang jelas hantu-hantu itu butuh tempat untuk mereka berjual-beli. Iya, mereka sama seperti kita. Butuh tempat interaksi, tempat membeli, dan tempat menjual."

Aku mengangguk dalam diam. Jantungku berdegup cepat. Telapak tanganku pun ikut berkeringat seperti dahiku sekarang ini. Aku memang penakut, aku mengakui itu. Sudah Feni, tolong berhenti bercerita.

"Sekarang sih katanya, pasarnya ada di.." Feni berhenti berbicara. Dia menoleh perlahan ke arah tanah kosong di dekat rumah Darius. 

"Feni, ayuk pulang. Sudah sore."

"Aduh, Dara. Aku pulang duluan ya. Udah dipanggil Mama nih. Daaah." Feni melambaikan tangannya, sambil berlari menuju rumahnya di ujung jalan.

Rumah Darius, rumah Feni masih di komplek perumahan yang sama dengan kami. Iya, aku, Feni, Kana, dan Darius berada di komplek perumahan yang sama. Kami adalah teman sepermainan di lingkungan rumah. Tanah kosong yang ditunjuk Feni itu berada di sebelum jalan ke rumahku. Sepertinya tanah kosong itu akan dibangun rumah, tapi entah berita itu sudah lama ada, dan sampai sekarang tidak ada rencana pembangunan sama sekali. Tidak ada pasir, kayu, bahkan batu bata untuk membangun sebuah pondasi.

"Ayuk, Dara juga pulang ya. Tadi Mamamu bilang sama tante." Mama Feni berkata padaku.

"Baik, tante. Pamit ya."

Aku pulang menuju rumahku yang berbeda gang dengan Feni. Tapi gara-gara cerita Feni, perjalanan pulangku jadi terasa sangat panjang. Aku harus melewati tanah kosong itu. Kali ini, keringat dinginku muncul kembali. Ini sangat menyeramkan. Aku berjalan cepat ketika mulai mendekati tanah kosong tersebut, aku tidak berani sedikit pun menoleh ke arah tanah kosong tersebut. Padahal aku tahu, tidak ada yang menyeramkan di tanah kosong tersebut. Aku menutup mata ketika melewati tanah kosong tersebut. 

Ketika aku merasa sudah melewati tanah kosong tersebut, aku membuka mata. Aku melepaskan telapak tanganku dari wajahku. Tapi, ternyata aku sama sekali belum melewati tanah kosong tersebut. Aku masih berada di depan tanah kosong tersebut. Tanah kosong yang rumput liar bebas tumbuh di atasnya. Sebuah pohon beringin yang rindang, sepertinya sudah bertahun-tahun di sana. Dan sebuah meja tua yang dibuang oleh entah siapa. Meja tua itu telah rusak, karena sering dimainkan oleh anak-anak lain dulu.

Aku terdiam, seakan aku di sepatuku ada sebuah lem yang lengket di depan tanah kosong tersebut.

"Hayo."

"Ah, kakak. Bikin aku kaget aja." Aku hampir terjatuh karena kakakku.

"Ayuk, pulang sama-sama."

Aku mengangguk pelan. "Kakak tahu tentang tanah kosong itu?"

"Oh, kamu baru tahu ya? Itu gosip lama komplek ini. Gak usah percaya." Kakak tersenyum padaku. 

Kami berjalan melewati tanah kosong tersebut. Untung saja, tidak terjadi apa-apa. Syukurlah, ada kakak di saat seperti ini. Kalau tidak, aku tidak tahu harus bagaimana melewati tanah kosong tersebut. Kami berbicara, bercanda selama perjalanan ke rumah. Memang tidak terlalu jauh jarak rumah kami dari tanah kosong tersebut tapi cukup untuk kami berdua bersenda-gurau.

Tapi, kakak tiba-tiba berhenti. Diam. Aku yang tidak tahu apa-apa juga ikut terdiam. Kakak yang diam, membuatku berpikir yang macam-macam. "Jangan noleh-noleh ya. Lihat lurus ke depan saja. Jangan sekali-sekali noleh. Janji?"

"Kenapa kak? Iya kak, aku janji." Aku menundukkan kepala. Aku tidak berani melihat apa yang ada disampingku. Kakak hanya diam. Yang kutahu, disampingku tidak ada tanah kosong, yang ada hanya rumah salah satu tetangga. Ramai, karena memang ada kehidupan di dalamnya. Tapi sore itu, rumah itu terlalu ramai. Mungkin keluarga besarnya datang. 

Kakak menggandeng tanganku dengan erat, lalu mengajakku untuk berjalan lebih cepat. Sambil tangan lainnya, ditaruh di bahuku. Mungkin untuk menjaga aku untuk tetap fokus ke depan jalan. Dalam beberapa saat aku dan kakak sudah sampai di dekat rumah, kira-kira 20 meter lagi, kami sampai di rumah kami.

"Kenapa kak tadi?"

"Gak apa-apa. Cuma iseng aja." Kakakku menyeka keringat di dahinya. Salah sendiri, seharusnya bisa santai berjalan, kenapa memilih jalan cepat yang melelahkan.

"Yasudah." Aku masuk ke dalam rumah.

"Eh, Dara. Jangan main ke rumah kosong itu ya?"

"Yang mana kak? Tanah kosong kali."

"Bukan, yang tadi kakak suruh ngeliat ke depan aja. Tadi bulu kuduk kakak merinding pas ngelewatin rumah itu. Mana pintu sama jendelanya pada terbuka lagi. Makin serem dah." Kakak menyusul masuk ke rumah, melewati aku yang sedang berdiri dekat pintu.

Aku hanya bisa diam. Aku tidak menyangka kakak begitu jahat menceritakan itu padaku. Aku benci kakak.

Wednesday, June 26, 2013

Percakapan

"Cantik?"

"Iya. Kalau ada cowoknya, jadi cantik. Kalau tak ada cowoknya, biasa aja."

"Loh, kok bisa gitu ya?" Aku heran dengan pernyataan Doni.

"Itulah. Aku juga tak tahu. Aneh ya. Aku cuma merasa, kalau cewek ada cowoknya, maka dia semakin cantik di mataku."

"Mungkin kamu benar. Aku baru sadar."

"Namanya Ana, siapa tahu kamu mau nunggu dia sampai putus. Lupakan Ana, coba lihat yang itu." Doni menunjuk ke arah wanita yang berbicara dengan sebelahnya. Maklum sedang upacara.

"Hm. Menurutku, badannya oke. Proporsional. Wajah juga tak jelek. Tapi karena aku orangnya subjektif, dia terlalu liar. Lihat saja dandanannya seperti itu. Sedangkan aku tak liar. Aku tak kuat mengikuti keliaran dia. Aku tidak ingin terlihat inferior di mata cewek."

"Begitukah? Menurutku, malah itu tantangan. Kamu bisa menaklukannya, maka kamu menjadi raja yang diakui. Kamu akan punya banyak pengikut!"

"Entahlah. Sudah kubilang, aku orang yang subjektif kalau melihat seperti ini."

"Baiklah, Clara memang seperti itu."

"Daripada Clara, coba lihat Mutia." Kali ini aku yang menunjuk seorang wanita yang diujung barisan. Tidak terlalu jelas, tapi aku tahu kalau itu Mutia. Aku sering memerhatikannya.

"Manis, tertutup fisik dan hati. Cuma itu yang bisa kukatakan."

"Kurang satu lagi, kawan."

"Apakah itu? Banyak penggemar?"

"Benar, tapi ada alasan yang jelas kenapa dia memiliki banyak penggemar."

"Tak kusangka, kamu lebih suka memperhatikan cewek seperti dia."

"Tak usah membelokkan masalah. Mutia, walaupun tertutup semuanya. Auranya berbeda, kawan. Entah, mungkin kalau kucoba mengartikan. Aura itu aura seksi. Entahlah, apakah karena hanya aku yang terlalu kotor atau memang seperti itu adanya." Aku menjelaskan dengan penuh keyakinan.

"Hm. Sepertinya kamu tidak salah, kawan. Kamu benar. Ah, kamu memang hebat! Tenang, tapi menghanyutkan. Kamu memang seperti itu. Ah, kenapa aku tak sadar-sadar. Pantas saja, begitu banyak yang rela bertumpah darah untuk meruntuhkan bentengnya itu. Sayang, sepertinya dia sudah punya komitmen yang lebih keras dari benteng itu. Kasihan penggemarnya. Tapi tumben kamu bisa berpikir seperti itu."

"Aku juga bingung. Mutia memang pengecualian."

"Kamu suka?"

"Mungkin lebih tepatnya komitmen dia yang lebih keras itu, adalah aku."

"Bercanda."

"Iya, bercanda. Tenang saja."

"Okelah. Terus kalau Jihan, bagaimana?"

"Perfect! Entah, aku merasa dia cewek paling nomor 1 di kota ini. Berlebihan sih, tapi bisa kamu bayangkan. Seorang wanita yang berambut panjang, sedikit pirang, tapi tetap elegan. Tidak seperti cewek-cewek galau yang berkeliaran bebas sekarang ini. Dandanan tidak terbuka, tapi rapi. Ini menandakan kelas dia memang berbeda dari cewek yang memang mengumbar kemurahannya. Prestasi? Tidak usah ditanya, dia berkali-kali mewakili sekolah ini untuk bepergian di luar kota, bahkan luar negeri. Ah, seandainya aku ada keberanian lebih banyak. Juga punya banyak modal, lebih tepatnya modal kepribadian. Dia bisa menghargai cowok yang baik dari dalam." Kali ini aku juga bersemangat.

"Terlalu berlebihan, kawan. Tapi sebagian dari penjelasanmu aku sepakat. Sayang kita terlalu miskin kepribadian sehingga mendekati, bahkan menyapanya adalah hal yang tabu."

"Yah, kita memang bukan siapa-siapa. Kita bahkan tidak bisa masuk dalam jangkauan mereka. Kita berada di dunia yang berbeda."

"Kamu benar, kawanku. Tapi tidak ada salahnya kita membicarakan mereka. Bukankah, kita masih laki-laki tulen? Kalau kita sudah jadi waria, mungkin tidak pantas kita membicarakan mereka."

Aku menggangguk, tanda setuju. "Ayuk, kita lanjutkan kerjaan kita."

"Oke, tapi kali ini kamu ya yang teriak-teriak. Aku hanya menawarkan koran ini ke orang-orang."

"Ayo, pokoknya yang jual paling sedikit, dia yang nraktir es kelapa di belakang sekolah ini."

Doni mengangguk sambil tersenyum. Kami pun berdiri bersamaan, berjalan menuju perempatan lampu merah.

Tuesday, June 25, 2013

Memancing (Part Finale)

"Gimana rasanya bisa dapet ikan, Brian?" Ujar Om Jono kepadaku. Om Jono mendekatiku setelah aku berhasil melepaskan kail.

"Super banget, Om! Ah, aku merasa keren banget, Om. Pokoknya mantap. Aku sendiri gak nyangka bisa menangkap ikan sebesar ini. Ini pertama, dan langsung ikan besar! Wow!" 

"Sepertinya kamu senang sekali ya, Brian. Tapi itu tangkapan yang hebat!" Om Jono mengacungkan jempol kepadaku. "Sini, kamu pose, mau Om foto dulu."

Aku langsung berpose dengan ikan yang aku tangkap, aku tidak tahu apa nama ikan ini, yang jelas panjang ikan ini sekitar 30 cm. Aku memegang ikan ini dengan kedua tanganku. Kepala ikan di tangan kanan, buntut ikan di tangan kiri. Aku pun tersenyum sampai blitz kamera mengenaiku.

"Om, ini nama ikannya apa?"

"Oh, itu namanya ikan kembung."

"Oh." Aku terkejut, setahuku ikan kembung itu yang bisa membulat kalau ada musuh. Itu setahuku dari film kartun yang aku tonton selama ini. Tapi setelah kuingat-ingat ternyata itu namanya ikan gembung. Dan ini ikan kembung. Sungguh berbeda.

Aku lanjut untuk menyiapkan pancing rentakku dengan umpan-umpan lagi. Aku berharap, sore ini menjadi sore milikku. Aku akan menjadi juragan ikan kembung yang kaya. Aku sangat bersemangat, sampai-sampai aku lupa menaruh ikan kembungku yang baru kudapat ke dalam kotak penyimpanan ikan.

Tapi sampai pukul setengah 5 aku tidak mendapatkan apapun. Aku begitu terpukul. Ternyata aku mendapatkan ikan tersebut, adalah suatu kebetulan. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti memancing, aku pun berjalan-jalan di kapal. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan keadaan kapal. Aku mendatangi Ayah.

"Kamu lagi bosan, Nak?" Ayah bertanya padaku.

"Gak begitu, Yah. Tapi ada benarnya. Aku capek duduk terus nungguin ikan. Tapi gak ada satu pun ikan yang datang lagi padaku."

"Kamu harus banyak belajar. Lagipula ini kali pertama kalimu, bukan?"

"Iya." Aku menunduk lesu. Ternyata memancing itu memang tidak mudah.

"Kamu mau sesuatu yang seru gak?" Ayah dengan wajahnya yang tenang itu, sepertinya akan menawarkan sesuatu yang hebat lainnya.

"Apa yah?" Aku penasaran.

"Sebentar, Ayah mau ngambil sesuatu dulu." Ayah kemudian menaruh pancing rentaknya. Dan Ayah masuk ke dalam rumah kecil, tempat dimana tas kami dikumpulkan. Begitu keluar, Ayah membawa sesuatu di kantongnya. Kantongnya terlihat besar. Ayah menunjuk ke pinggiran kapal, "Coba kamu berdiri di situ." 

"Emang kenapa, Yah?"

"Lakukan saja. Begitu sampai di sana, fokus lihat batas antara laut dan langit." Ayah tersenyum.

Aku melakukan yang diperintahkan Ayah. Aku berdiri di pinggiran kapal, tentunya aku sambil berpegangan di pinggiran kapal tersebut. Aku melihat batas laut dan langit itu. Ini sungguh pemandangan yang luar biasa. Tidak ada daratan diantara laut dan langit. Laut dan langit bertemu membentuk garis lurus yang tidak ada batasnya. Aku melihat ujung paling kiri, ke ujung paling kanan, semuanya sama. Sebuah garis langit yang luar biasa. Cahaya sore berwarna oranye menghiasi garis langit ini. Aku juga melihat ada ikan yang berloncatan, jauh dari kapal ini. Mereka seperti anak-anak yang sedang bermain sore. Sama seperti manusia.




"Itu dinamakan garis cakrawala. Batas laut dengan langit. Kamu tidak akan bisa menemukan ini dari kota. Ini limited edition. Kamu termasuk anak jaman sekarang yang masih beruntung bisa melihat ini." Ayah menjelaskanku dari belakang. Tapi aku tetap fokus. Menikmati keindahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Jebyuur..

Aku kaget, aku tiba-tiba terlempar ke laut. Apakah gara-gara kapal tiba-tiba terkena ombak besar, sehingga aku bisa tercebur ke laut? Ah, ini semua gara-gara aku terlalu terpana dengan suasana ini. Aku tidak berpegangan kuat. Kini, aku panik. Aku berusaha tetap melayang, air laut sungguh sangat asin. Mataku sakit terkena air laut ini. Aku bisa berenang memang, tapi ini bukan kolam renang. Ini laut! Tapi, aku ingat perkataan guru renangku, pertama yang kamu lakukan ketika berada di air adalah tetap tenang. Aku berusaha tenang dengan menarik napas, kemudian menahannya. Sambil aku mencari posisi yang tenang. Agar aku tetap melayang.

"Ayaaaah. Aku tenggelam." Aku berteriak, dan melihat ke arah kapal yang masih tetap tegap berdiri di atas air. Tapi apa yang kudapat. Orang-orang dewasa tersebut, tertawa melihatku.

"Tenanglah, Nak. Jangan panik. Kamu kan sudah bisa berenang, bukan lelaki namanya kalo kamu panik begitu." Ayahlah yang telah mendorongku ke laut ini. Kenapa?

"Tapi kan, gak perlu ngedorong gitu dong." Aku memprotes Ayahku, sambil tetap menggoyang-goyangkan kaki dan tanganku untuk tetap melayang. Air laut yang asin ini membuatku sedikit panik. Tapi entah kenapa memang aku lebih mudah melayang di air laut, dibanding di kolam renang.

"Ini gunakan." Ayah melempar sesuatu ke arahku, yang diambil dari kantongnya. "Cepat diambil, jangan sampai tenggelam.

Aku kemudian berenang mendekati tempat terjatuhnya barang itu. Untung saja aku cepat dalam berenang, jadi barang itu tidak sempat tenggelam. Ternyata, barang yang dilempar itu adalah kacamata renang. Ah, terima kasih Ayah. Tapi sepertinya mendorongku ke laut adalah ide yang sudah dipikirkan oleh Ayah. Seperti halnya Ayah mempersiapkan kacamata renang ini.

"Coba kamu pakai, lalu lihatlah ke dalam lautan." Perintah Ayah.

Aku mengikuti perintah Ayah, memakai kacamata renang tersebut. Ah, aku memang bisa tenang kalau ada kacamata renang ini. Ntah, dengan bisa melihat apa yang ada di dalam air, aku bisa berenang dengan tenang. Ah, aku bisa melihat isi dalam laut! Walaupun terlihat makin menyeramkan, sepertinya aku harus menarik kata-kataku kalau aku bisa tenang kalau bisa lihat apa yang di dalam air. Memang menyeramkan, tapi ini sungguh luar biasa!

Aku melihat ikan-ikan kecil di dalam laut, mereka bergerak di air dengan bebas. Menurutku mereka seperti menari, seperti anak-anak kecil sedang berada di kelas balet. Aku juga melihat langit, tapi dari dalam air laut, ah, sungguh luar biasa. Langit oranye, cenderung gelap sedikit membias di permukaan air, ini perpaduan yang luar biasa! Aku melihat ada beberapa ikan yang aku tidak tahu, tapi entah lah mereka tetap luar biasa berada di alamnya.


Hanya satu, sisi menyeramkan dari air laut ini. Air laut terlalu dalam, dan gelap. Aku hanya bisa menikmati bagian permukaan sedikit kebawah, untuk yang lebih dalam? Tidak, semua serba gelap. Apalagi di langit sore seperti ini. Ini yang membuatku takut, setelah melihat pemandangan yang luar biasa ini. Aku kembali ke permukaan.

"Bagaimana?" Ayahku berbicara padaku dari atas kapal.

"Laut dalam itu serem ya, Yah? Tapi di bagian atas itu menakjubkan. Cahaya matahari menambah keindahan dalam laut."

"Bayangkan nak, kamu berada di laut dalam seperti ini, dengan keadaan terang benderang. Seperti di akuarium yang super besar. Kamu akan merasakan yang lebih luar biasa. Memang itu hanya khayalan, tapi dengan khayalan seperti itu, kamu bisa lebih berteman dengan laut ini." Ayah lagi-lagi tersenyum setiap menjelaskan sesuatu kepadaku.

Aku mengikuti perintah ayah. Kali ini, aku pasrahkan badanku melayang di atas permukaan, dengan wajahku menghadap bawah lautan. Gelap. Tidak kelihatan apa-apa. Tapi aku mulai berkhayal, andaikan cahaya matahari bisa masuk, dan menerangi semua yang ada di sini. Perlahan laut bawah yang gelap itu menjadi terang, sekarang aku bisa melihat gunung laut, palung, batu-batuan laut, bermacam-macam ikan, cumi-cumi,  penyu laut, segerombolan ubur-ubur, dan bahkan paus biru yang besar aku bisa melihat dengan jelas. Ini luar biasa. Tapi ada juga yang menyeramkan, seperti ada hiu yang sedang mengejar mangsa, paus pembunuh yang sedang mencari mangsa.

Aku kembali menghirup udara, kembali ke permukaan. Sepertinya Ayah sudah siap untuk mengangkatku kembali ke kapal.

"Sudah?"

"Sudah, Yah." Aku menjawab dengan senyuman terbaikku. Ayah terlihat bahagia, sepertinya melihat anaknya bisa menikmati perjalanan yang belum pernah anaknya temui. Ayah menurunkan tangga tali, aku menaiki tangga tersebut untuk bisa naik kembali ke kapal. Paman Rano memberikan handuk kepadaku, bajuku pun sudah persiapkan Ayah. Aku berganti pakaian di dalam rumah kecil tersebut.

Ini benar-benar pelajaran yang luar biasa. Aku tidak akan melupakan ini. Ini keren! Aku tersenyum sendiri, ini memang luar biasa.

"Brian!" Pakdhe Nono memanggilku. Aku lari keluar dari rumah kecil itu. Mendatangi buritan kapal, semua orang berkumpul di sini.

"Ada apa, Pakdhe?"

"Kita dapat ikan pari!"




Ikan pari? Bukan kah itu ikan yang luar biasa besar? Yang punya sayap, dan jarum beracun di badannya? Wow, ini keren dan mengerikan! Aku langsung menuju pinggiran kapal untuk bisa melihat langsung prosesi penangkapan ikan ini. Ternyata ikan pari memakan umpan yang disediakan Om Jono. Sekarang Ayah, Paman Rano, dan Pakdhe Nono  beserta nelayan-nelayan yang ada membantu proses menangkap ikan pari ini.

Semua orang dewasa, bergotong royong untuk menangkap ikan ini. Aku tidak mengerti, yang aku tahu ikan pari ini sangat berbahaya. Racunnya mematikan! Tapi entah kenapa orang-orang dewasa ini tidak terlihat takut, bahkan bersemangat. Ah, aku ingat, ini adalah sensasi memancing. Semakin yang kamu pancing berbahaya, semakin mendidih darahmu untuk mengangkatnya ke kapal.

Setelah setengah jam, akhirnya ikan pari bisa tertangkap. Ketika ikan itu terbawa mendekat dengan kapal, nelayan yang sudah terbiasa dengan hal ini langsung menombak ikan tersebut, hingga tidak bergerak. Dan nelayan sisanya kemudian juga ikut terjun ke laut untuk menangkap ikan tersebut dengan jaring. Setelah jaring, ikan pari diangkat menggunakan jaring yang sudah diikat tali di atas kapal.

Ikan pari digeletakkan di geladak buritan kapal. Racun yang dibawah buntutnya sudah dihilangkan oleh nelayan. Aku kasihan, ikan pari ini termasuk hewan yang mulai berkurang keberadaannya. Tapi aku masih kecil, tidak bisa melakukan apa-apa. Aku cuma bisa melihat hewan ini mati di kapal ini. Ah, hari sudah gelap, wajar karena sekarang sudah pukul setengah 6. ini waktunya pulang. Sangat luar biasa penangkapan ikan pari ini sebagai ending perjalanan yang keren ini.

"Mau foto gak?" Tanya Ayah tiba-tiba.

"Gak, Yah. Badan ikan pari itu lebih besar daripada badanku yang sudah SMP ini."

Ayah, Paman Rano, Om Jono, dan Pakdhe Nono tertawa mendengar jawabanku. Saatnya kita pulang. Gelap mulai datang.

Monday, June 24, 2013

Memancing (Part 2)

Aku mulai bosan, hampir putus asa. Aku sudah dua jam tidak mendapatkan ikan. Tanganku pun sampai pegal, memegangi tali pancing ini. Perasaan, aku sudah sangat menghayati ini. Aku mencoba merasakan perasaan ikan yang akan memancing, perasaan ragu untuk memakan makanan yang tidak jelas darimana, tahu-tahu muncul begitu saja. Kemudian ikan itu mencoba mengadu nasib, dia tahu makanan itu kemungkinan adalah kail yang disediakan oleh manusia, tapi karena dia hanya tahu masalah makanan, dia ambil resiko itu. Ketika gerakan tali terasa sampai tanganku, akibat gigitan ikan tersebut, saat itulah aku menarik tali pancing ini. Sayangnya itu cuma perasaanku saja, perasaan itu selalu bisa salah.




Matahari sangat terik, aku merasakan panas yang belum pernah kurasakan ketika aku di darat. Panas matahari di tengah laut sangatlah luar biasa. Aku yang terbiasa bermain panas-panas ketika di lapangan, harus mengakui keganasan matahari. Kepalaku pusing, dan aku pun menjadi mual. Tidak ada pohon, tidak ada semilir angin, tidak ada awan, langit cerah. Ini benar-benar luar biasa.

"Ayah.."

"Kenapa, Brian?"

"Kepalaku pusing, mual, Yah." Aku benar-benar kepanasan. Padahal aku sudah memakai topi, tapi tidak menggunakan penutup topi di belakang kepalaku. Seperti yang dilakukan Ayahku dan saudaranya.

"Kamu kepanasan, Brian. Kamu tidur saja dulu sebentar. Sekitar sejam lagi kita akan makan siang. Nanti ayah bangunkan." Ayah memberiku handuk untuk dipakai sebagai bantal ketika aku tidur.

Aku berjalan menuju rumah kecil, di tengah kapal tersebut. Aku berjalan sambil berpegangan pinggir kapal, karena aku sudah sangat merasa pusing. Ternyata, di dalam rumah tersebut juga ada nelayan yang sedang tidur. Sepertinya, dia juga kepanasan seperti aku. Aku pun senang, karena punya teman yang juga kepanasan.

Aku merebahkan badanku, memang tidak ada bantal. Hanya ada lantai kapal yang terbuat dari kayu. Sayangnya, tempat ini tidak sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir di rumah ini karena beratap, jadi bisa lebih sejuk daripada di luar. Ternyata aku salah, di dalam sini panas terik memang tidak terasa, tapi hawa panas masih ada. Ah, ini benar-benar siksaan yang luar biasa. Ditambah, rumah tersebut dekat dengan mesin kapal yang berbunyi nyaring dan berbau mesin, ah sungguh memabukkan. Mau tidak mau, aku harus tidur. Bagaimanapun keadaan yang ada. Kalau tidak aku akan mati lemas di sini. Aku melihat nelayan tersebut bisa tidur dengan pulas, aku juga percaya kalau aku juga bisa tidur dengan pulas. 

Susah memang awalnya, tapi aku pun akhirnya tertidur juga. 

***

"Brian, bangun. Sudah jam 2 siang. Ayok makan dulu. Nanti lanjut tidur lagi." Ayahku membangunkanku.

Aku yang merasa sudah nyaman tidur, akhirnya terbangun, dan benar-benar terbangun karena kondisinya membuatku terjaga dengan cepat. Apalagi selain bau mesin, hawa panas, dan bunyi mesin yang nyaring itu? Aku keluar dari rumah kecil tersebut, ternyata di depan rumah kecil itu dibuat atap dari terpal. Untuk tempat makan bersama di geladak kapal. Sepertinya, semuanya baru akan makan, semuanya sedang memegang piring di tangan mereka. Bau ikan goreng masuk ke dalam hidungku, ah, sangat enak. Aku melihat makanan yang tersedia di tengah semua orang. Apa? Yang ada cuma ikan goreng, nasi, dan bungkusan garam yang robek di ujungnya. Ini makanan apa? Masa hanya makan makanan yang seperti ini saja?

"Ayok, nak Brian. Disantap makanannya." Kata salah seorang nelayan yang disampingku.

"Tapi? Kenapa hanya seperti ini?"

"Dicoba saja dulu." Pakdhe Nono tersenyum padaku. Sepertinya Pakdhe tahu kalau aku kaget dengan makanan yang ada.

"Brian, yang ada sekarang hanya seperti ini. Dimakan saja. Enak kok, coba saja." Ayah juga menambahi kata-kata Pakdhe Nono. 

Aku akhirnya mencoba makanan yang tersedia. Aku ambil piring, kemudian mengambil nasi di panci. Mereka menanak nasi dengan menggunakan air laut. Aku mengambil ikan goreng, yang ikan itu adalah hasil pancingan yang sudah didapat tadi. Bentuk ikan ini sangat tidak menarik, kalau kamu tahu, ikan laut itu punya bentuk yang aneh-aneh. Aneh buat dimakan. Terlalu berwarna, dan sepertinya penuh duri.




"Loh, kok gitu aja? Itu ditambah garam juga, Brian. Biar maknyus." Saran Paman Rano.

"Kok kasih garam sih? Kan aneh nanti. Asin." Aku menolak untuk menambahkan garam.

"Dicoba dulu, Brian." Kata Paman Rano sambil tersenyum kepadaku.

Ah, terlalu banyak hal yang baru dan aneh di kapal ini. Aku tidak habis pikir dengan semua ini. Ternyata hidup di kapal itu mengerikan, hidup sebagai nelayan itu cukup keras. Memang tidak mungkin kita membawa  bekal yang macam-macam ke kapal. Takut basi. Juga itu terlalu mahal untuk seorang nelayan. Dengan makanan seperti ini saja sudah cukup bagi mereka. Hemat.

Aku menaburi nasi di piringku dengan garam. Aku awalnya tidak ingin memakan ini, tapi apa daya perutku sudah sangat lapar. Panas terik ini membuatku menjadi cepat lapar. Aku mengaduk nasi, sehingga garamnya bisa rata pada nasi. Aku mencoba suapan pertama, dengan menggunakan tangan. Aku menguyahnya dengan pelan. Luar biasa! Nasi garam ini luar biasa! Ini enak sekali! Aku juga mencoba ikan goreng, aku taburkan sedikit garam, dan ikan goreng ini juga luar biasa! Gurih sekali! Ah lidahku seakan tidak percaya apa yang sudah dia rasakan. Ini diluar bayanganku. Apakah ini pengaruh dari keadaan kapal yang memang sudah sangat tidak enak, jadi masakan yang sederhana ini terasa spektakuler?

"Enak banget, Paman! Yah, ini enak banget!" 

Paman Rano dan Ayah hanya tersenyum melihatku gembira seperti itu. Aku memakan nasi tersebut dengan lahap, dalam sekejap aku menghabiskan satu piring itu. Begitu juga dengan ikan goreng itu. Ah, syukurlah, masih banyak ikan goreng yang bisa kumakan.

"Kamu tahu, Brian? Hampir setiap hari nelayan hidup dari makanan seperti ini. Mereka berusaha berhemat, dengan mengorbankan dirinya untuk bisa menghidupi keluarganya dari menangkap ikan. Kamu bisa bayangkan setiap hari mereka makan makanan seperti ini. Mungkin, sekali seperti kamu tidak akan apa-apa, bagaimana kalau hampir setiap hari? Ini sangat tidak menyehatkan. Jadi kamu jauh lebih dari beruntung. Pinter-pinter bersyukur ya, Nak." Ayah mengelus kepalaku, "Makanan apapun akan lebih terasa nikmat apabila dimakan bersama-sama seperti ini. Benar kan?"

"Iya, Ayah." Aku mengangguk tanda setuju.

Awan mulai menutupi matahari, sehingga udara sekarang tidak terlalu panas. Udaranya sangat sejuk. "Ayok, mancing lagi. Sudah kenyang kan? Udara juga lagi enak. Siapa tahu sekarang bisa dapat." Ajak Ayah.

"Oke."

Memang benar apa kata ayah, aku harus pandai bersyukur. Aku memang mengakui makan makanan seperti ini enak, tapi aku tidak bisa menjamin akan selalu enak. Bisa saja di hari-hari tertentu, makanan seperti ini bisa terasa tidak enak. Aku menaruh piring yang sudah kumakan di tumpukan piring kotor. Aku pun mengambil kembali pancing rentak yang aku taruh dekat Ayah.

***

Kali ini, udara tidak sepanas tengah hari tadi. Walaupun sekarang jam setengah 3 tapi matahari tertutup awan. Sehingga panas tidak terlalu terasa. Aku menenggelamkan kailku. Kali ini, aku harus berhasil menangkap ikan. Aku berjanji pada diriku. Aku sengaja memberi umpan pada kailku lebih banyak daripada yang biasa. Satu kail, bisa kumasukkan dua jenis umpan, cacing dan udang. Aku menunggu. Aku yakin dengan feelingku kali ini. Aku rasa aku bisa mengerti ikan sekarang, setelah memakan ikan laut segar.

20 menit aku tunggu kailku. Belum ada gerakan yang ada pada tali pancingku. Aku percaya umpanku belum dimakan oleh ikan. Tiba-tiba, ada tarikan lembut pada tali pancingku. Sekejap, aku langsung menghentakkannya. Begitu aku selesai menghentakkannya tali pancingku seketika menegang. Aku mendapatkan ikan! Aku senang sekaligus grogi. Ikan ini bisa saja lepas kalau aku tidak hati-hati. Aku awalnya ingin memanggil ayah karena aku berhasil menarik ikan. Tapi aku ingin menunjukkan juga bahwa aku sudah besar. Aku bisa melakukan ini. 

Tali itu menegang sangat kuat. Aku berusaha menarik tali itu dengan kencang. Tapi aku ingat perkataan ayah, kalau mau menangkap ikan, kamu harus bisa merasakan pergerakan ikan tersebut. Aku langsung diam sejenak, dan menikmati tarikan ikan tersebut. Tali itu menarik ke kanan, kemudian ke kiri, berputar-putar sekitar tempat aku memancing. Aku membiarkan tali pancingku terulur kalau memang tali pancingku sangat kuat tarikannya. Begitu, pergerakan ikan sudah sedikit tenang, atau melemah. Aku langsung sekuat tenaga menariknya dengan cepat. Dan, benar! Ikan itu sudah lelah. Aku menariknya dengan mudah. Seperti ikan tersebut juga menuju ke arahku, sehingga aku tidak perlu tenaga yang besar untuk menariknya. 

Ikan tersebut sudah mulai terlihat ke permukaan. Wow! Ikan ini besar sekali! Panjangnya mungkin sekitar 35 cm. Tapi aku bingung bagaimana mengangkat ikan ini, tarikan ikan ini semakin berat ketika di permukaan air laut.

"Ayah, aku dapat ikan! Ini gimana cara ngangkatnya. Ikannya udah muncul di permukaan." Aku memanggil Ayah. 

Ayah kemudian mendatangiku, dengan membawa sebuah tongkat jaring. Tongkat jaring itu digunakan Ayah untuk mengangkat ikan tersebut ke atas kapal. Begitu ikan tersebut muncul kembali ke permukaan, Ayah langsung menangkap ikan itu dengan tongkat jaring. Ikan itupun tertangkap dengan sempurna, dengan kailku yang tersangkut di bibir ikan tersebut. Ayah kemudian mengambil ikan dari jaring tersebut, dan menaruhnya di geladak kapal.

"Coba, kamu lepas kail dari mulutnya. Pegang dulu ikannya dengan telapak tangan kirimu agar ikannya tidak berontak. Kemudian tarik kailnya dari mulutnya dengan tangan kananmu." Ayah menyuruhku melepas kailnya sendiri. Ini sungguh mengerikan. Ikan itu licin dan menggelikan, bahkan sisinya terasa sangat tajam bagiku, "Ayok coba dulu. Masa anak laki-laki penakut gitu."

Akhirnya aku mencoba juga saran Ayah. Aku menahan ikan itu dengan tangan kiriku, agar tidak loncat. Kemudian menggunakan tangan kananku untuk mencabut kail. Ah, ini sungguh menggelikan, menyeramkan. Aku tidak tega melihat kail yang menusuk di bibir ikan tersebut. Menarik kail ini sangat mengerikan.

"Yah, gak mau kecabut. Keras, geli."

"Ditarik aja, Nak. Memang agak keras. Terus aja dipaksa. Gunakan kekuatanmu."

"Tapi licin juga, Yah. Susah nariknya. Licin."

"Lap tanganmu dulu dengan ini." Ayah memberikanku handuknya. Aku membersihkan tanganku dari lendir kulit ikan ini, yang membuat licin tanganku.

Aku akhirnya mencoba terus menarik kail ini. Keras, seperti menancap dengan sempurna di mulut ikan tersebut. Kali ini aku menggunakan kekuatanku lebih kuat lagi. Dan, akhirnya kail tersebut bisa lepas dari mulut ikan tersebut.

"Aku berhasil, Ayah!"

Ayah tersenyum melihatku berhasil menyelesaikan tantangannya.


Bersambung..

Sunday, June 23, 2013

Memancing (Part 1)

Hueeeekkk.

Aku memuntahkan sarapanku ke dalam sebuah plastik hitam kecil yang memang sudah kupersiapkan di kantongku. Seketika, perutku merasa lega setelah memuntahkan isi perutku. Aku sepertinya dalam keadaan mabuk. Ayahku hanya tertawa melihatku mabuk seperti itu, sambil mengelus punggungku. "Baru satu jam saja di atas kapal sudah muntah, payah nih anak ayah."

"Yah, ombaknya gede banget. Kapalnya goyang parah. Ini lebih parah daripada naik bis kota. Selain itu, bau asap dari kapal ini juga membuatku sangat pusing dan mual." Aku kembali muntah, setelah menyanggah sindiran ayah. Ayah, Paman Rano, Om Jono, dan Pakdhe Nono tertawa ketika melihat mukaku yang lemas setelah beberapa kali muntah. Aku terkulai lemas di pinggir kapal. Ah, aku tidak suka mabuk laut.

Keluarga besarku sangat menyukai memancing, karena itulah hari minggu ini Ayah dan saudaranya menyewa kapal nelayan ini untuk pergi ke tengah laut demi menjalankan hobi yang sudah mereka kerjakan sejak muda.  Ayah sudah meluangkan waktu sejak lama untuk bisa menjalankan rencana ini. Aku yang penasaran, dan juga kebetulan diajak oleh Ayah, akupun juga ikut dalam pelayaran ini. Aku pikir, memancing dengan orang dewasa akan lebih seru daripada hanya menonton film kartun dari pagi hingga siang hari. 

Kami pergi ke dermaga kapal pada pukul 6 pagi, suasana pagi yang dingin menyambut kami, aku menikmati suasana pagi di tepi pantai seperti ini. Aroma laut, semilir angin, dan suara ombak, sungguh sangat menyegarkan.




Kapal nelayan ini cukup besar, ada sekitar 10 orang di dalam kapal ini. Aku, Ayah, Paman Rano, Om Jono, Pakdhe Nono, serta lima nelayan yang membantu untuk mengendarai kapal dan menemani kami dalam memancing. Kapal ini awalnya sangat tidak kupercaya bisa berlayar, karena memang cat kapal ini sudah banyak yang luntur, kapal ini jelas sudah lama berlayar di laut. Apalagi ketika awal perjalanan, kapal ini bergoyang cukup mengerikan. Aku hanya bisa berdoa komat-kamit sambil memegang pinggiran kapal. Untung saja kapal hanya bergoyang hebat di awal perjalanan. Di tengah kapal ini ada rumah kecil untuk menyimpan barang, dan juga tempat beristirahat. Sayang, rumah kecil ini hanya cukup untuk 3 orang di dalamnya. Kapal ini menggunakan mesin diesel untuk bergerak, karena itu juga yang membuatku mabuk lautku bertambah parah.

Kapal ini membutuhkan sekitar 3 jam untuk bisa sampai di titik memancing di tengah laut. Sembari menunggu kapal berhenti di titik memancing, kami sarapan bersama. Walaupun kami sudah sarapan di rumah sebelum pergi, kami harus makan lagi setelah 2 jam perjalanan, karena sengatan panas di tengah laut bisa membuat energi lebih cepat habis. Jadi kami tidak boleh dalam keadaan yang lapar. Apalagi aku yang habis memuntahkan seluruh isi perutku. Kami memakan bekal sarapan yang sudah kami bawa, Ayah juga membagikan sarapan kepada nelayan yang menemani kami. Kami makan bersama di geladak utama kapal. Ah, masakan Ibu memang paling enak.

Setelah kami menghabiskan makan, Ayah dan saudaranya mempersiapkan alat untuk memancing. Pakdhe Nono dan Om Jono menggunakan tongkat pancing dengan satu kail, sedangkan Ayah dan Paman Rano menggunakan tali pancing yang memiliki banyak kail, kemudian digulung menjadi sebuah gulungan. Biasanya ini dinamakan pancing rentak atau pancing ulur, karena terdiri dari banyak kail, sehingga sekali memancing bisa mendapatkan banyak ikan sekaligus. 

Setelah menyiapkan alat memancing, kemudian di setiap ujung tali pancing dipasang pemberat, sehingga ketika kail dilemparkan ke laut, bisa langsung tenggelam. Karena aku tidak bisa membantu dalam mempersiapkan alat pancing, karena memang dalam urusan mengikat tali pancingan juga membutuhkan skill tertentu. Aku tidak bisa tali-menali, aku menyesal tidak serius dalam mengikuti pramuka. Akhirnya aku hanya menyiapkan umpan untuk memancing, seperti cacing, udang, dan cumi-cumi. Aku memotong umpan cumi-cumi tersebut menjadi kecil-kecil, karena cumi-cumi terlalu besar untuk sekali memancing.

"Bisa gak tuh motong umpannya?" Om Jono melihatku yang sedang memotong cumi-cumi. Tapi sepertinya pertanyaan tersebut mengandung sindirian. Entah, mungkin karena aku memotong cumi-cumi ini tidak rapi, ada yang kebesaran, ada yang kekecilan.

"Bisa kok, Om. Nih, bahkan ada yang bentuknya kayak ikan teri." Aku sambil mengambil salah satu potongan cumi-cumi tersebut, dan memperlihatkannya kepada Om Jono.

"Ah, anak om yang masih 3 bulan saja bisa kalau cuma motong gitu."

Aku menggembungkan pipiku, tanda aku kesal dengan sindiran Om Jono. Om Jono hanya tertawa melihatku seperti itu.

Setelah 3 jam perjalanan akhirnya kapal kami mulai berhenti di titik tertentu. Aku tidak begitu tahu dimana kami berhenti ini, yang jelas sejauh mata memandang hanya ada lautan. Laut begitu tenang, ombakpun tidak terlalu besar, sangat berbeda di awal perjalanan. Tidak ada apa-apa, tidak ada daratan yang terlihat, dan jelas tidak ada sinyal. Untung saja panas belum begitu terik, karena ini masih jam 10 pagi. Suara mesin kapal yang dari tadi menemani kami, sekarang telah hilang. Kami berhenti total.

"Ayah, ayok mancing! Dimana alat pancing untukku?"

"Ini, nak. Tapi sebelum itu ayah ajarkan bagaimana cara memancing."

"Siap, ayah!"

"Jadi, kailnya kan ada banyak. Nah masing-masing kail diberi umpan. Terserah, mau udang, cacing, atau cumi." Ayah menjelaskan kepadaku sambil menunjukkan cara menaruh umpan pada kail. "Setelah diberi umpan, kamu tinggal menenggelamkan kail ini. Ketika sudah cukup dalam, dikira-kira saja, kamu tunggu sampai tali pancing yang kamu pegang ditarik. Ketika sudah merasa ditarik, kamu harus memberi hentakan pada talimu, agar ikan yang awalnya hanya terkena kail sedikit, bisa terkena lebih pasti oleh kailnya."

"Siap!"

Ayah tersenyum melihat aku berteriak mengerti, padahal aku sebenarnya belum begitu mengerti. Ah, tapi kalau tidak langsung dicoba aku tidak akan tahu bagaimana cara memancing.

***

Aku berkali-kali gagal menarik ikan, sedangkan Ayah, Pakdhe Nono, Om Jono, dan Paman Rano sudah mulai memamerkan hasil tangkapannya. Aku tidak begitu tahu apa nama ikan yang mereka tangkap. Yang jelas ikan itu cukup besar. Ayah dan Paman Rano yang menggunakan pancing rentak, lebih banyak mendapatkan ikan. Sedangkan aku? Aku sudah menggunakan pancing rentak, tapi belum satupun ikan yang kudapat. Aku hanya mendapatkan kailku kosong, umpan sudah dimakan oleh ikan, tanpa terjebak oleh kailku.

"Yah, kenapa aku masih belum dapat?"

"Sabar. Memancing itu memang butuh kesabaran yang lebih. Yang kamu butuhkan adalah feel menangkap ikan. Kamu tidak akan bisa menangkap ikan, kalau kamu tidak bisa menghayati proses memancing ini."

Aku tidak mengerti.


Bersambung..

Saturday, June 22, 2013

Sore di Sekolah (Part Finale)

"Aduduh. Sakit, Ma." Aku mengerang kesakitan. Hidungku memang tidak patah, pukulan Akbar tidak tepat mengenai hidungku, hanya sedikit mengenai hidung dan pipi. 

"Jangan gerak makanya. Lagian, di sekolah tuh nyari teman, bukan nyari musuh. Pacar siapa lagi yang kamu rebut?" Mama membersihkan lukaku dengan menggunakan handuk basah. 

"Gak ada kok, Ma."

Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan Mama seperti itu. Apakah iya, Akbar mengira aku punya hubungan dekat dengan Ajeng? Aku tidak pernah sampai seperti ini dengan Akbar. Memang aku sering bertengkar dengan Akbar, tapi sebuah tinju di hidung? Ini berlebihan. Aku harus segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

"Hey! Jangan gerak, plesternya belum nempel bener." Mama menyuruhku kembali duduk, tapi aku tetap berdiri dan pergi dari tempat aku dirawat, ruang tengah.

***

Aku pergi ke sekolah, padahal hari ini minggu. Tapi aku tetap berharap menemukan salah seorang, Ajeng ataupun Akbar. Masalah ini tidak bisa dibiarkan, kalau tidak masa-masa SMAku tidak akan berakhir dengan baik. Aku berkeliling di sekolah, mencari sesuatu. Di kantin, perpustakaan, kelas-kelas, dan juga UKS. Tapi namanya hari minggu, semua ruangan dikunci, dan juga tidak ada orang di sekolah. Biasanya aku yang sesekali mengisi sepi di sekolah ini pada hari minggu, termasuk hari ini.

Dalam perjalananku menuju parkiran, karena aku sudah menyerah untuk mencari Akbar ataupun Ajeng, aku mendengar percakapan seseorang. Aku berlari mendekati sumber suara tersebut. Suara tersebut berasal dari parkiran.

"Terserah kamu." Seorang laki-laki berteriak. Aku tidak bisa melihat jelas siapa orang tersebut, aku hanya bisa mengintip sedikit dari celah di dekat lorong yang menuju parkiran. Sesaat berikutnya terdengar suara motor, dan sepertinya laki-laki itu menarik gas untuk pergi dari tempat ini. Ada yang ditinggal di parkiran ini.

Aku tidak berani untuk menemui seseorang yang ditinggal itu, sayup-sayup aku mendengar tangisannya. Sepertinya dia seorang wanita. Aku terpaksa memberanikan diri untuk menyambutnya.

"Anya?"

"Gilang?" Anya langsung mendatangiku dan memelukku. Dia menangis sejadi-jadinya di bahuku, sambil memelukku.

Aku tidak berani untuk menanggapi langsung apa yang sedang terjadi sekarang, aku lebih memilih diam. Membiarkan Anya mengeluarkan emosinya saat ini. Tapi aroma ini, iya aku kangen dengan aroma ini. Aku kemudian balas memeluknya. Tanganku kutaruh di belakang kepalanya. Karena aku tahu, sentuhan di kepala adalah kenyamanan yang tak terbantahkan.

Anya bercerita kepadaku, bahwa laki-laki yang bersamanya akhir-akhir ini adalah pacarnya yang baru. Dia mengaku kalau sebelum putus denganku, dia sudah bersama dengan laki-laki itu. Tapi tidak menjadi pacar, hanya disebut teman tapi mesra. Sejak tidak menjadi pacarku, dia merasa nyaman dengan laki-laki itu. Dia akhir-akhir ini sering ke rumah laki-laki itu. Nama laki-laki itu adalah Akbar. 

Akbar yang selama ini jarang pergi ke sekolah, memang mengalami depresi yang parah ketika putus dengan Ajeng. Mendapatkan sesuatu yang nyaman dengan Ajeng, tapi tidak berlangsung lama. Ajeng meminta waktu kepada Akbar untuk bisa lebih menerima Akbar sepenuhnya, tapi sepertinya Akbar tidak bisa menunggu lama. Dia ingin Ajeng menjadi pacar yang sepenuhnya, bukan yang setengah-setengah. Setengah diterima, setengah mencari kenyamanan.

Iya, Akbar dan Anya memang dekat semenjak aku mendekati Anya dulu. Jadi wajar kalau memang Anya dan Akbar memiliki hubungan yang baik. Tapi aku tak menyangka laki-laki ini yang biasa menjemput dan bersama Anya adalah Akbar. Kenapa dia harus sembunyi-sembunyi dari aku? Toh, aku tidak masalah. Akbar mau antar-jemput Anya sekolah juga aku tak masalah. Aku percaya kepada Akbar. 

Anya semakin sering mendatangi rumah Akbar karena orang tua Akbar meminta secara personal kepada Anya untuk membantu anaknya menghadapi depresi. Kenapa bukan aku? Mungkin orang tua Akbar tahu kalau aku adalah salah satu sumber masalah anaknya. Dan sekarang Akbar meninggalkan Anya karena dia masih menyukai Ajeng. Belum bisa melupakannya. Anya hanya menjadi obat pereda nyeri sementara. Dan juga, Akbar sepertinya memikirkan aku.

***

Aku seakan tidak percaya yang sebenarnya terjadi sekarang. Anya memintaku untuk memaafkan Akbar. Akbar hanya seperti itu karena itu respon yang biasa dalam menghadapi suatu permasalahan seperti ini, begitupun dengan Anya. 

"Hidungmu itu, gara-gara Akbar?"

"Bukan, ini kemarin aku menabrak tiang gawang. Bukan apa-apa."

"Jangan bohong, kemarin Akbar bercerita kepadaku kalau dia baru saja memukulmu. Dia menyesal, Lang. Tapi dia tidak tahu bagaimana menghadapimu lagi. Setelah selama ini seperti..." Anya menjelaskan masalahku dengan Akbar kemarin, tapi aku memberhentikan dia berbicara dengan tanganku. Aku tidak ingin mendengar dari Anya.

"Cukup, Nya." Aku melihat dalam kepada Anya. Aku tidak ingin dengar lebih lanjut, "Ayo, kamu kuantar pulang."

Aku menarik tangan Anya, dan membawanya ke motorku. Aku mengantarkan Anya kembali kerumahnya. Akbar sungguh keterlaluan meninggalkan Anya di sini. Sendirian. Ataukah dia tahu kalau ada aku di sekolah ini, setelah melihat motorku? Siapa yang tahu.

***

"Aku tahu kamu pasti ada di sini." Aku berbicara kepada Akbar, dia sedang duduk di pinggir lapangan minggu sore.

"Ah, ternyata kamu. Bagaimana kamu tahu aku di sini?"

"Aku mengenalmu tidak dalam beberapa hari, Bar. Kemungkinan besar kamu akan kembali ke sekolah ini sore setelah membuat beberapa masalah siang tadi. Sudah menjadi kebiasaan kamu atau aku untuk kembali ke sekolah kalau ada yang seperti ini. Tapi sayang, kali ini tidak sesederhana yang kemarin-kemarin."

"Aku tahu, Lang. Aku minta maaf."

"Bukan masalah."

"Terus?"

"Aku bingung saja dengan kamu. Anya atau Ajeng?"

"Ajeng. Itulah salah satu alasan kenapa aku memukulmu kemarin."

"Baiklah."

Aku pergi meninggalkan Akbar di lapangan itu. Setidaknya aku sudah memutuskan sesuatu.

***

Aku berjanji dengan Akbar, untuk bertemu di bioskop. Kami merencanakan untuk nonton film tentang drama cinta romantis. Biasa, anak muda seperti kami lebih mudah menangkap cerita picisan seperti itu. Aku janji untuk bertemu di depan pintu masuk bioskop. Biar kami bisa memesan tiket bareng.

"Hey, Lang." Teriak Akbar dari jauh. Dia datang dengan seseorang. Dari jauh aku bisa lihat seseorang itu adalah wanita yang manis. Dilihat dari dandananya yang feminim itu. Ah, Akbar kamu memang luar biasa.

"Lama banget sih. Aku sampai dua kali bolak-balik wc kedinginan di bawah ac ini."

"As always, Gilang. Lebay." Akbar tertawa mendengar candaan garingku, "Kenalin, Lang. Garnis. Garnis ini Gilang."

Aku menyambut tangan Garnis, kami bersalaman. Akbar memang hebat, track record yang luar biasa. Senyum yang meluluhkan. Kalau saja aku yang kenal duluan dengan Garnis. Aku.. Ah, sudahlah. "Yuk, masuk beli tiket."

Aku, Akbar, dan Garnis masuk untuk masuk dalam antrian yang cukup panjang. Kami akan menonton film ini pada pukul setengah 4 sore. Sedangkan ini masih jam 3, cukup sambil menunggu teman kami yang lain yang juga ikut nonton.

"Mba, beli tiket untuk tujuh orang ya." Aku berbicara pada penjaga tiket.

"Mau duduk dimana, mas?"

"Di sini saja, di tengah." Aku menunjuk ke arah tempat duduk yang kosong di bagian tengah. Cukup untuk tujuh orang duduk berderetan, "Gimana, Bar?"

"Ngikut aja."

"Sip, gitu aja mba."

"Oke. Semuanya 245 ribu ya."

Aku memberikan uang sebanyak 250 ribu kepada penjaga tiket itu, aku menolak Akbar menambahi uang dari dompetnya. Aku mengaku sehabis mengambil uang di atm. Tujuh buah tiket sudah ditangan kami. Aku memberikan dua tiket untuk Garnis dan Akbar. Sedangkan sisa tiketnya aku pegang, sambil menunggu empat teman kami lainnya.




Sekejap, ada dua buah tangan yang tiba-tiba menutup mataku. Aku kaget, tapi aku bisa kembali tenang, karena kedua tangan itu adalah tangan wanita. Lembut dan beraroma, "Tebak, Lang. Itu siapa?"

"Anya?"

"Kok kamu tahu sih?" Anya melepas tangannya dari kedua mataku, "Kamu gak seru ah, Lang."

Aku hanya tertawa melihat kelakuan Anya, dia tetap tidak berubah, "Salah sendiri parfum gak pernah ganti-ganti."

"Iya juga ya. Oya ini kenalin. Ghulam ini Gilang, Gilang ini Ghulam." Anya mengenalkan laki-laki yang ada di sampingnya, bersamanya. 

"Salam kenal ya." Aku menyambut tangan Ghulam. Sepertinya dia lebih tua satu tahun daripada Anya dan aku. Aku pernah melihat dia, dia kakak kelas kami. Akbar juga menyambut sapaan dari Ghulam, begitu berikutnya, Garnis juga berkenalan dengan Ghulam dan Anya.

"Oya, itu Ajeng juga sudah datang, Lang. Bar." Anya menunjuk ke arah belakang, dekat pintu masuk bioskop.

"Halo, semua!" Ajeng melambaikan tangannya dari kejauhan. Ah, aku tahu siapa yang ada di sebelahnya. Ternyata Gallant yang menjadi pacar Ajeng sekarang. Dia adalah adik kelas kami. Adik kelas yang paling cemerlang, dia yang menjadi inisiator beberapa ekskul baru di sekolah, seperti ekskul band, dan flag football. Benar-benar seorang laki-laki yang perfect. Good looking dan juga smart.

"Yuk karena, sudah datang semua. Ayo masuk." Aku mengajak Akbar, Garnis, Anya, Ghulam, Ajeng, dan Galant untuk masuk ke dalam ruangan. Kami siap untuk menikmati cerita picisan yang lainnya.

Aku menjadi yang terakhir yang masuk dalam ruangan itu, bersiap menikmati kisah lain yang akan ditayangkan. Aku tersenyum puas.

Selesai

Friday, June 21, 2013

Sore di Sekolah (Part 6)

"Makan sendirian aja ya? Kasihan." Ajeng menepuk pundakku dari belakang. Aku sedang makan di kantin, sendirian. Entah, Akbar sekarang lebih sering menyendiri, dan terkesan menjauhiku. Padahal bukan gara-gara aku dia putus dengan Ajeng.

"Magyahum temyengyim." Aku berbicara dengan mulut yang penuh. Maksudku adalah 'Makanya temenin." Tapi sepertinya Ajeng mengerti apa kataku. Ajeng yang datang bersama dengan beberapa temannya ke kantin, meninggalkan temannya itu, untuk menemaniku. Sepertinya dia kasihan denganku.

Ajeng cukup menarik dalam bercerita. Lagi-lagi pantas, Akbar sangat begitu fokus ketika sedang berbicara dengan Ajeng. Dia menarik, cukup bisa diajak bicara yang tidak biasa-seperti hal yang sering dibicarakan laki-laki- dan yang lebih menarik, cara dia berpakaian itu tidak berlebihan seperti halnya dengan para primadona lainnya yang ada di sekolah ini. Sederhana dan supel.

"Kamu masih kontak-kontakan dengan Akbar?" Tanyaku penasaran. Kali ini dengan mulut yang tidak penuh bakso.

"Iya, masih. Tapi entah kenapa Akbar berubah. Dia tidak seperti yang dulu. Aku hanya butuh waktu, dan sepertinya dia tidak bisa menerima keadaan itu. Aku masih memiliki rasa yang sama, sebelum ini. Tapi, entahlah." Ajeng menghabiskan susu yang dia pesan, dengan raut wajah yang menyesal. Tapi aku tidak tahu apa arti penyeselan yang dirasakan Ajeng. Terlalu kabur.

"Aku duluan ya. Aku mau ulangan habis istirahat ini. Gak boleh telat." Aku berdiri, meninggalkan Ajeng.

"Boleh kok balik ke kelas. Tapi bayar dulu dong. Tuh ibu kantin ngeliatin kamu." Ajeng tertawa kecil.

Aku menepuk jidatku. 

***

Kami berempat memang tidak satu kelas. Tapi ketika masalah-masalah belum berdatangan, kami tidak pernah absen untuk menyapa, seharipun. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan keadaan ini, tapi karena  hati kami pernah satu frekuensi, aku tidak bisa diam saja membiarkan ini semua terjadi tanpa ada penyelesaian.

Aku seperti biasa, memenangkan permainan bola sore ini. Ini sudah biasa. Aku sudah biasa menerima banyak tepuk tangan dari penonton yang datang dari pemainnya sendiri. Iya, yang mengerti permainan cantik kami, hanya pemain yang melakukan permainan cantik. Kami sendiri. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku, handuk yang biasa kupakaipun tidak bisa digunakan untuk menyerap keringat lagi, terlalu banyak keringat.

Tiba-tiba, ada sebuah handuk yang terbang ke arahku. Aku kaget, dengan tangkas aku menangkis handuk yang terbang itu, sampai jatuh ke lantai, "Dih, kok gak ditangkep sih?"

"Loh! Kamu kok ada di sini? Tumben. Oya sekolah kan masih rame. Tapi tumben aja ada kamu." Aku mengambil handuk yang aku jatuhkan itu, "Maaf ya, maklum mantan atlit silat."

"Gak papa kok. Lagi pengen aja. Tuh handuk dicuci ya ntar. Aku gak ngasi loh, minjemin doang. Kasian ntar masuk angin."

"Ah, tumben. Tapi makasih ya." Aku tertawa. Aku mulai menyeka wajahku dengan handuk itu. Handuk yang harum, entah memang perasaanku saja atau bagaimana, semua barang milik perempuan itu punya bau yang berbeda. 

Ajeng ikut tertawa denganku. Sedangkan, teman-teman yang lain masih berada di lapangan bersiap untuk pulang, juga ikut menggodaku, "Cie, cie, cie."

Aku yang sudah terbiasa dengan keadaan ini, memilih untuk tetap tenang. Semua yang menggodaku akan semakin senang kalau aku menanggapinya dengan serius, "Kamu gak pulang?"

"Oya, pulang kok ini. Ntar lagi dijemput orang tua."

"Oya kamu habis les ya. Oke. Hati-hati ya." Aku pergi meninggalkan Ajeng. Dan Ajeng pergi ke arah yang berbeda denganku.

***

Belum sampai aku di parkiran. Aku melihat Akbar berdiri dekat lorong menuju parkiran. Wajar sebenarnya ada Akbar di jam seperti ini. Dia biasa melihat pertandingan, bahkan ikut dalam pertandingan. Tapi keadaannya yang seperti ini membuat aku sedikit tidak percaya dia ada sore ini.

"Lang, kamu suka sama Ajeng?" Akbar melihatku tajam. Aku tahu dia sekarang sedang serius, tidak cocok untuk kuajak bercanda.

"Enggak kok. Kebetulan saja."

"Kebetulan gak akan seperti itu. Kebetulan hanya sesekali." Sepertinya Akbar menaruh curiga kepadaku. Aku memang terbiasa dicemburui seperti ini. Tapi kalau dengan Akbar, aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya diam. Berjalan pelan ke arahnya.

Pukulan keras, meluncur ke arah hidungku. Dari tangan Akbar. 

Aku tersungkur seketika, tas yang kubawa semuanya terjatuh. Aku terdiam sejenak. Apa yang sedang terjadi? Cairan keluar dari hidungku, tapi aku masih tidak sadar cairan itu berwarna apa. Aku mengerang kesakitan. Aku melihat ke depanku, melihat Akbar. Tapi dia sudah tidak ada di depan. Teman-teman yang tadi ada di lapangan sebagian, mendatangiku. Kebetulan ada yang melihat kejadian ini.

Akbar, ada apa?


Bersambung..