Wednesday, April 16, 2014

Gantungan Kunci Mutiara (Sebuah Cerpen)

Tidak biasanya rumah ini terlihat ramai. Ramai tidak selalu berarti banyak orang, bukankah berantem di dalam rumah juga berarti ramai? Aku yakin yang terjadi di rumah ini adalah sebuah pertengkaran, tapi keributan semacam ini sungguh aneh untuk rumah yang terbiasa sepi ini. Aku tidak bisa memastikan dengan jelas, karena aku di dalam kamar, dengan pintu yang setengah tertutup. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
 Aku baru saja menyelesaikan makan siangku, tujuh sampai delapan butir pelet sudah aku telan, aku lupa pastinya, yang jelas aku menghabiskan porsi yang lebih banyak daripada biasanya. Aku berjalan pelan menuju karang-karang yang tersusun seperti gunung, tinggi, dan cukup terjal untuk makhluk kecil sepertiku. Untung saja aku sudah hidup dengan karang ini lebih dari dua tahun, sehingga aku sudah memiliki celah bagaimana cara memanjatnya, melewati gang sempit yang terbuat dari dua batu karang kembar yang tak sengaja jatuh ketika pemilikku memberiku makan. Setelah payah memanjat, akhirnya aku bisa menarik nafas lega. Udara memang menyenangkan.
Setengah jam setelah suara rebut tersebut, tiba-tiba ruangan lengang. Selama lima menit tidak ada suara yang nyata. Sampai akhirnya pemilikku masuk dengan gontai, sepertinya aku benar, memang terjadi sesuatu di luar sana. Dia menjatuhkan badannya di kasur, dan menarik salah satu komik yang berantakan di meja dekat kasurnya, sesekali mengusap bekas air matanya yang sudah separuh kering di tulang pipinya. Matanya sembab.
“Kakak jahat.” Pemilikku menengokku dari kasur
Aku diam melihatnya, aku berjalan perlahan menuju ujung akuarium untuk bisa melihatnya dengan jelas.
“Masa Toni nggak diajak ke Bali? Papa sedang dinas, Mama juga lagi umroh dengan teman kantornya. Terus Toni sendirian dong di rumah? Jahat.” Toni menutup mukanya dengan bantal, komik yang tadi dia pegang, dia lempar ke arah lemarinya.
“Kan, ada aku, Terus juga ada mbak Sum yang bantuin beres-beres rumah. Enak loh, sendirian di rumah. Kamu bisa ngapain aja. Kamu bisa hambur-hamburin rumah tanpa perlu ada kak Rina yang ngomel.”
“Nggak seru, Dolbo. Kakak bisa main ke tempatnya Paman Gede, Toni kan sudah lama nggak pernah ke sana. Pokoknya Toni mau ikut. Kalau nggak Toni nggak mau makan sama keluar dari kamar ini.” Suara isak Toni terdengar lirih dari balik bantal.
Tidak pernah aku melihat Toni sebegitu-inginnya dalam suatu hal, padahal dia baru berumur delapan tahun, umur dimana dia bisa jujur atas semua keinginannya, terlebih dia bukan termasuk dari golongan keluarga yang tidak mampu. Dia termasuk anak yang pendiam, lebih banyak menghabiskan waktu bersama tumpukan komik-komiknya. Dia anak yang baik, hanya kurang mendapatkan cukup perhatian dari orang sekitarnya, sungguh, aku ingin melakukan sesuatu untuknya.
Aku berpikir lama, lalu bergerak menuju rumah yang aku buat dari batu-batuan kerikil yang menjadi alas akuarium ini. Mengigit sebuah mutiara yang sudah menjadi harta yang aku jaga selama ini. Mutiara ini hadir bersamaan dengan aku terdampar di salah satu pantai kota ini dua tahun yang lalu. Aku kembali ke pojok akuarium, sambil menggotong di sela-sela leher dan cangkangku.
“Baiklah, daripada menangis nggak jelas gitu. Aku punya sesuatu untukmu.” Aku meletakkan mutiara di depanku.
“Malas.”
“Ayolah, ini yang terakhir, deh. Pasti akan seru nantinya.”
“Jangan bohong, ya.” Toni perlahan mendekatiku, menaruh bantal yang tadi menutupi wajahnya. Dia terpaku dengan benda bersinar yang ada di dekatku.
“Tapi, ada syaratnya.” Aku tersenyum melihat matanya bersinar cerah.
***
Desiran ombak bersahutan menyambut segarnya sore hari di bagian paling luar dari sebuah daratan. Anginpun seakan tidak ingin kalah memeriahkan sinar oranye yang dibiaskan langit sore, perlahan, namun pasti menghembuskan secara rata, meniup segala benda yang tidak memiliki pegangan yang kuat, angin memang suka memuat kejutan di setiap tiupannya.
“Sarah, ayok, balik ke villa.” Ujar temannya buru-buru, mungkin warna oranye ini terlalu seram untuknya agar tetap bermain di pantai hingga gelap sempurna.
“Aku masih ingin bermain-main sebentar, langitnya lagi bagus. Nanti aku akan menyusulmu.” Sarah memberi senyuman.
“Baiklah, lekas balik, ya. Tenang saja, restoran-restoran di The Bay Bali ini buka sampai malam, jadi jangan kawatir tersesat, ya. Minta tolonglah sama orang-orang di sekitar. Ingat villa kita tidak jauh dari restoran itu. Ingat jalan pulang, kan?”
Sarah mengangguk, melambaikan tangan kepada temannya, lalu kembali duduk di atas pasir yang tenang. Langitnya teduh, tertutup awan yang menutup indahnya matahari yang terbenam. Sarah sepertinya sedang tidak berada dalam mood yang bagus, sejak pagi dia seperti orang yang gelisah, bolak-balik melihat ke arah handphone-nya, bolak-balik menghela nafas.
“Tidak baik perempuan masih berkeliaran di sekitar pantai padahal malam telah tiba.” Tiba-tiba suara lelaki muncul dari balik tubuh Sarah.
Sarah terperanjat, seketika duduk melihat ke arah sumber suara lelaki tersebut. Lelaki bertubuh tegap, dengan tinggi yang lebih dari tingginya, namun wajahnya tidak terlalu kelihatan, mungkin gara-gara hari sudah gelap, sehingga wajahnya tertutup malam.
“Lebih tidak baik lagi mengagetkan orang, seperti penculik saja.” Sarah membuang muka.
Lelaki itu tertawa, “Aku serius, kata orang sekitar sini, kalau ada perempuan cantik yang sendirian bermain sampai gelap di pantai, maka naga laut akan datang dengan ombak yang besar, dia akan  memangsa gadis tersebut.”
“Kamu tidak lucu.”
“Baiklah, coba lihat saja, tadi air laut tidak setinggi ini beberapa menit yang lalu. Itu tanda-tanda naga laut akan datang.” Lelaki tersebut menunjuk ke arah air laut yang meninggi, dan beranjak pergi meninggalkan Sarah. Sarah memang baru sadar, kalau ujung jari kakinya sekarang tenggelam oleh air laut, sebagai anak yang baru saja berumur enam belas tahun, dia masih suka percaya dengan hal-hal yang aneh, terlebih yang mengucapkannya juga merupakan orang yang aneh.
“Tunggu.” Sarah mencoba memanggil lelaki tersebut, sambil berlari kecil mengejarnya, sayangnya dia tersandung karang, walaupun tidak jatuh, kerasnya kerang membuatnya meringis kesakitan.
Lelaki tersebut bergerak cepat mengeluarkan plester dari kantongnya, dan menutup luka Sarah yang dibuat oleh kerang tersebut. “Panggil saja, Boni. Di sekitar sini memang banyak kerang yang cukup tajam kalau tidak hati-hati, ya bisa seperti ini.”
“Bagaimana bisa kamu membawa plester kemana-mana? Seperti anak kecil saja.”
“Ibuku selalu menyelipkan plester ke kantungku, padahal aku tidak pernah terluka, aku tidak suka bermain di luar.”
“Sama seperti ibuku juga seperti itu.”
“Selesai, masih sakit?”
“Tidak, terima kasih. Kamu orang sini?”
“Bukan, aku hanya berlibur.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Berani sekali, berapa umurmu? Aku pikir kita seumuran.”
“Iya sepertinya, aku akan berumur enam belas minggu depan.”
Sarah mengangguk pelan, tanda dia mulai bisa mengenal siapa lelaki yang ada di hadapannya. Boni namanya, menawarkan Sarah untuk mengantarnya pulang ke villanya. Kebetulan gara-gara luka barusan, dia semakin tidak mood untuk bermain lebih lama di pantai, dia ingin buru-buru menikmati kasur yang empuk di villa.
“Aku memperhatikanmu dari jauh, sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu.” Tanya Boni penasaran.
“Bukan apa-apa.”
“Tatapan matamu tidak bisa bohong, aku bisa melihatnya. Kamu juga terlihat beberapa kali menatap kosong ke handphone-mu.”
Jalanan lengang sejenak, Sarah terdiam sesaat. Perasaan gelisah yang daritadi berkecamuk, dan luka perih yang semakin membuat keadaan semakin menyebalkan membuatnya memulai cerita yang sudah membuatnya terlihat tidak bahagia di tempat seindah ini.
“Hari ini aku ulang tahun.”
“Selamat ulang tahun.” Boni merespon cepat ucapan Sarah.
Sarah tertawa kecil, “terima kasih. Tapi bukan itu masalahnya, Maulana, pacarku belum mengucapkan ucapan padaku. Kami memang sempat marahan kemarin-kemarin sebelum berangkat ke sini, seharusnya dia ikut bersamaku berlibur di sini, namun tiba-tiba saja dia bilang tidak bisa gara-gara dia mendapat tiket gratis untuk nonton bola di Jakarta. Tiba-tiba saja dia membatalkan semua ini. Aku tahu dia gila bola, tapi hari ini kan ulang tahunku, apakah dia lupa?”
Sarah terlihat menahan tangis, namun cepat-cepat dia usap air matanya, mungkin dia malu menangis di hadapan orang asing yang baru ia temui. Boni tidak langsung merespon, dia hanya mendengar.
“Makanya barusan aku mengirim sms kepadanya, aku minta putus. Bukan hanya sekali dia seperti ini.”
“Itu terserah padamu, aku tidak ingin mencampuri. Tapi, yang ingin tanya, lalu untuk apa kamu pergi berlibur? Kamu bahkan tidak terlihat seperti orang yang berlibur.”
“Aku sedang muak dengan keadaan di rumah. Aku pikir dengan pergi ke Bali bersama pacar aku bisa mengobati rasa sedihku, tapi ternyata sama saja.”
“Muak kenapa?”
“Orang tuaku akan bercerai, Mamaku sepertinya tidak tahan dengan kelakuan Papaku yang jarang di rumah, terlalu sering Papa pergi dinas, tidak masuk diakal kalau menurut Mama. Sampai suatu hari Mama melihat bukti yang membuatnya mengambil keputusan cerai di handphone Papa, foto mesra dengan wanita lain.”
Boni terlihat sangat terkejut, sepertinya dia tidak menyangka masalah Sarah serumit ini. “kamu tahu darimana?”
“Mama menceritakannya padaku, aku dan Mama cukup dekat.”
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu bercerita mengenai ini.”
“Tidak apa, justru aku berterima kasih, aku jadi sedikit lega dengan bercerita denganmu.”
“Lalu, kamu anak pertama?”
“Iya, aku punya satu adik. Tapi…”
“Tapi, kenapa?”
“Dia terlalu kecil untuk bisa menerima hal seperti ini, Mama sengaja tidak memberitahukan hal ini padanya. Lagipula dia orangnya pendiam, aku takut apabila dia mendengar hal ini, nanti dia akan lebih parah keadaannya.”
“Menurutku tidak akan seperti itu. Pendiam bukan berarti dia lemah atau penakut, mereka hanya memilki hal-hal yang tidak bisa orang biasa mengerti. Aku juga punya adik seperti itu, makanya aku tahu. Lebih baik kamu cepat beritahu dia, sehingga dia bisa lebih cepat tahu dan tidak akan begitu kaget apabila hal tersebut terjadi.”
“Menurutmu begitu?” Sarah seperti tidak percaya.
Boni mengangguk pelan. “Sepertinya, villa kamu sudah terlihat.”
Sarah memandang jauh, benar apa katanya Boni, villanya sudah di depan matanya. “kalau begitu, aku pamit, ya. Terima kasih, senang ketemu denganmu. Oya, kamu ada nomor handphone?”
“Ah, maaf aku belum punya, aku masih belum diizinkan Mamaku buat punya handphone.”
“Aneh, kamu sudah besar, lalu bagaimana orang tuamu menghubungimu.”
“Tenang saja, orang tuaku percaya padaku. Oya, salah satu restoran di The Bay Bali tadi adalah tempat favoritku, kalau mau besok kamu bisa ke sana, kita akan bertemu lagi. Masakan di sana adalah yang terbaik di daerah sini. Jam 7 malam, ya? Masih di sini kan?”
“Baiklah.” Jawab Sarah sambil tersenyum.
Boni berlalu setelah berpamitan dengan Sarah. Melambaikan tangannya sambil berlari pulang, hingga tertutup gelap.
***
“Bagaimana? Enak, kan?”
Sarah tersenyum tidak sempurna, karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Boni tertawa melihat ekspresi lucu Sarah yang terlihat lahap menyantap makanan.
“Mamaku tidak pernah memasak seperti ini, paling-paling telor mata sapi.”
“Walaupun hanya telor mata sapi, tapi kamu tetap memakannya, kan?”
Sarah mengangguk tegas.
“Oya, aku punya sesuatu untukmu.” Boni mengeluarkan benda dari kantungnya yang berbentuk seperti gantungan kunci, namun dengan benda bulat indah sebagai perhiasan utamanya.
“Apa ini?”
“Benda berharga milik temanku, dia memberikan padaku dan menyuruhku untuk memberikan kepada seseorang yang sangat spesial untukku. Aku pikir kamu orang yang tepat.”
“Tapi, kan kita baru saja bertemu.”
“Memang aneh, tapi aku merasa seperti itu. Kamu seperti orang yang sudah lama kukenal.”
Sarah menatap dalam gantungan kunci tersebut, dia tidak menyangka akan mendapatkan barang seindah ini dari orang yang baru ia temui kemaren. “terima kasih, ini indah sekali.”
Boni tersenyum melihat Sarah yang menyukai barang pemberiannya, tidak ada yang lebih menyenangkan apabila kamu memberikan sesuatu yang bisa membuat orang lain terlihat bahagia. Tidak ada lagi tampang gelisah dari tatapan Sarah, itu sudah cukup membalas dari hadiah yang ia berikan.
“Jadi, liburan di Bali, memang menyenangkan, bukan?”
Sarah mengangguk pelan.
“Tapi, itu saus tomat dibersihin dulu. Cemong dimana-mana” Boni tertawa.
Sarah tertawa juga sambil membersihkan saus tomat di dekat pipinya, mereka berdua berada di restoran tersebut hingga malam yang cukup wajar. Boni lagi-lagi mengantarkan Sarah pulang ke villanya. Sarah tidak percaya liburan yang singkat bersama orang yang baru dikenalnya lebih bermakna daripada bermain dengan teman-temannya, bahkan dengan keluarganya. Seakan-akan Sarah ingin menahan tangan Boni untuk tidak pergi meninggalkannya, Boni seperti memiliki aura yang sangat menenangkan bagi Sarah, semenjak dia bertemu dari kemarin.
“Semoga kita bisa bertemu lagi, Boni. Maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa.”
“Santai saja. Kita pasti akan bertemu lagi, tenang saja. Oya, kirimkan salamku untuk adikmu ya.”
“Pasti.”
“Aku pamit dulu, sampai jumpa.” Boni berlalu begitu saja, menghilang bersama gelapnya malam.
“Boni, jangan kayak anak kecil, sana beli handphone!” Teriak Sarah.
Boni tertawa dari kejauhan, wajahnya yang menenangkan itu makin menghilang, kabur termakan gelap. Hanya beberapa saat dibutuhkan malam untuk menelan lahap-lahap sosok yang bisa membuat Sarah lebih bisa mengeluarkan senyum yang tulus.
“Siapa tuh?” Karla, teman Sarah menggodanya.
“Teman yang baik hati dan tidak sombong.” Jawab Sarah singkat dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Karla kesal dengan jawaban Sarah, kemudian langsung memeluk Sarah dari belakang dan bersenda-gurau bersama di dalam kamar.
***
Sarah sampai di rumah ketika rumah seperti biasanya, tidak ada orang. Oh, ada mbak Sum, dia sedang membersihkan kamar mandi. Namun, yang tidak seperti biasanya adalah apa yang dia lakukan setelah masuk ke dalam rumah, dia langsung menuju kamar Toni dan melihat Toni sedang tidur pulas. Maklum, hari ini adalah hari minggu dan memang waktunya tidur siang. Aku bisa melihat ekspresi Sarah berbeda dari yang sebelumnya, dia sepertinya sedikit berubah setelah liburan ini.
Sayang, gerakan-gerakan yang sengaja Sarah pelankan, tetap bisa membuat Toni terbangun. Toni menatap lama kakaknya yang baru saja datang dan bingung sedang apa kakaknya berada di kamarnya, seumur-umur kakaknya tidak pernah masuk ke dalam kamarnya dalam waktu yang cukup lama.
“Kakak sudah pulang?”
Sarah mengangguk pelan, dan mencium dahi adiknya itu, “ada salam dari teman kakak buat kamu.”
Toni hanya tersenyum menanggapinya. “Itu, apa kak?”
“Ini oleh-oleh dari teman kakak.” Sambil memperlihatkan kepada adiknya, “cantik, kan?”
Toni mengangguk senang, senyumnya makin lebar. Sarah sangat kaget dan senang melihat adiknya bisa tersenyum lepas seperti ini, ini untuk yang pertama kalinya dia melihatnya. Aku sendiri bingung, bagaimana bisa dia tersenyum melihat barang tersebut? Dia seharusnya tidak mengingat kejadian sebelumnya. Itu termasuk dalam syarat yang sudah kuberikan. Tapi melihat senyumannya tadi aku jadi bisa mengerti alasannya kenapa dia masih bisa tersenyum seperti itu. Aku tertawa senang.
“Baiklah, kakak mau mandi dulu, ya. Nanti setelah makan malam, kakak mau ngomong sesuatu yang serius. Oke?”
Toni mengangguk, lalu kembali menarik selimutnya.
Sarah berjalan pelan ke luar kamar, namun dia berhenti ketika melihat akuariumku, tempat aku tinggal beberapa tahun ini.
“Toni, kamu biarin kura-kuramu mati? Kamu nggak kasih makan?”
Toni tidak mendengar, mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarnya. Dia tetap bersembunyi di balik selimutnya. Sarah mengambil tubuhku dari akuarium tersebut, dan membawanya ke taman belakang. Ah, aku baru sadar aku masih di dalam akuarium, aku seharusnya bisa terbang kemana-mana saat ini. Benar juga. Sekarang aku bisa terbang kemana saja. Saatnya aku mencari petualangan yang lainnya. Sampai jumpa lagi, Toni, Sarah. Senang bertemu denganmu. Semoga kalian bahagia selalu.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!