Tidak biasanya rumah ini terlihat
ramai. Ramai tidak selalu berarti banyak orang, bukankah berantem di dalam
rumah juga berarti ramai? Aku yakin yang terjadi di rumah ini adalah sebuah
pertengkaran, tapi keributan semacam ini sungguh aneh untuk rumah yang terbiasa
sepi ini. Aku tidak bisa memastikan dengan jelas, karena aku di dalam kamar,
dengan pintu yang setengah tertutup. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Aku baru saja menyelesaikan makan siangku,
tujuh sampai delapan butir pelet sudah aku telan, aku lupa pastinya, yang jelas
aku menghabiskan porsi yang lebih banyak daripada biasanya. Aku berjalan pelan
menuju karang-karang yang tersusun seperti gunung, tinggi, dan cukup terjal
untuk makhluk kecil sepertiku. Untung saja aku sudah hidup dengan karang ini
lebih dari dua tahun, sehingga aku sudah memiliki celah bagaimana cara
memanjatnya, melewati gang sempit yang terbuat dari dua batu karang kembar yang
tak sengaja jatuh ketika pemilikku memberiku makan. Setelah payah memanjat,
akhirnya aku bisa menarik nafas lega. Udara memang menyenangkan.
Setengah jam setelah suara rebut
tersebut, tiba-tiba ruangan lengang. Selama lima menit tidak ada suara yang
nyata. Sampai akhirnya pemilikku masuk dengan gontai, sepertinya aku benar,
memang terjadi sesuatu di luar sana. Dia menjatuhkan badannya di kasur, dan
menarik salah satu komik yang berantakan di meja dekat kasurnya, sesekali
mengusap bekas air matanya yang sudah separuh kering di tulang pipinya. Matanya
sembab.
“Kakak jahat.” Pemilikku
menengokku dari kasur
Aku diam melihatnya, aku berjalan
perlahan menuju ujung akuarium untuk bisa melihatnya dengan jelas.
“Masa Toni nggak diajak ke Bali?
Papa sedang dinas, Mama juga lagi umroh dengan teman kantornya. Terus Toni
sendirian dong di rumah? Jahat.” Toni menutup mukanya dengan bantal, komik yang
tadi dia pegang, dia lempar ke arah lemarinya.
“Kan, ada aku, Terus juga ada
mbak Sum yang bantuin beres-beres rumah. Enak loh, sendirian di rumah. Kamu
bisa ngapain aja. Kamu bisa hambur-hamburin rumah tanpa perlu ada kak Rina yang
ngomel.”
“Nggak seru, Dolbo. Kakak bisa
main ke tempatnya Paman Gede, Toni kan sudah lama nggak pernah ke sana.
Pokoknya Toni mau ikut. Kalau nggak Toni nggak mau makan sama keluar dari kamar
ini.” Suara isak Toni terdengar lirih dari balik bantal.
Tidak pernah aku melihat Toni
sebegitu-inginnya dalam suatu hal, padahal dia baru berumur delapan tahun, umur
dimana dia bisa jujur atas semua keinginannya, terlebih dia bukan termasuk dari
golongan keluarga yang tidak mampu. Dia termasuk anak yang pendiam, lebih
banyak menghabiskan waktu bersama tumpukan komik-komiknya. Dia anak yang baik,
hanya kurang mendapatkan cukup perhatian dari orang sekitarnya, sungguh, aku
ingin melakukan sesuatu untuknya.
Aku berpikir lama, lalu bergerak
menuju rumah yang aku buat dari batu-batuan kerikil yang menjadi alas akuarium
ini. Mengigit sebuah mutiara yang sudah menjadi harta yang aku jaga selama ini.
Mutiara ini hadir bersamaan dengan aku terdampar di salah satu pantai kota ini
dua tahun yang lalu. Aku kembali ke pojok akuarium, sambil menggotong di
sela-sela leher dan cangkangku.
“Baiklah, daripada menangis nggak
jelas gitu. Aku punya sesuatu untukmu.” Aku meletakkan mutiara di depanku.
“Malas.”
“Ayolah, ini yang terakhir, deh.
Pasti akan seru nantinya.”
“Jangan bohong, ya.” Toni
perlahan mendekatiku, menaruh bantal yang tadi menutupi wajahnya. Dia terpaku
dengan benda bersinar yang ada di dekatku.
“Tapi, ada syaratnya.” Aku
tersenyum melihat matanya bersinar cerah.
***
Desiran ombak bersahutan
menyambut segarnya sore hari di bagian paling luar dari sebuah daratan.
Anginpun seakan tidak ingin kalah memeriahkan sinar oranye yang dibiaskan
langit sore, perlahan, namun pasti menghembuskan secara rata, meniup segala
benda yang tidak memiliki pegangan yang kuat, angin memang suka memuat kejutan
di setiap tiupannya.
“Sarah, ayok, balik ke villa.”
Ujar temannya buru-buru, mungkin warna oranye ini terlalu seram untuknya agar
tetap bermain di pantai hingga gelap sempurna.
“Aku masih ingin bermain-main
sebentar, langitnya lagi bagus. Nanti aku akan menyusulmu.” Sarah memberi
senyuman.
“Baiklah, lekas balik, ya. Tenang
saja, restoran-restoran di The Bay Bali ini buka sampai malam, jadi jangan
kawatir tersesat, ya. Minta tolonglah sama orang-orang di sekitar. Ingat villa
kita tidak jauh dari restoran itu. Ingat jalan pulang, kan?”
Sarah mengangguk, melambaikan
tangan kepada temannya, lalu kembali duduk di atas pasir yang tenang. Langitnya
teduh, tertutup awan yang menutup indahnya matahari yang terbenam. Sarah
sepertinya sedang tidak berada dalam mood
yang bagus, sejak pagi dia seperti orang yang gelisah, bolak-balik melihat ke
arah handphone-nya, bolak-balik
menghela nafas.
“Tidak baik perempuan masih
berkeliaran di sekitar pantai padahal malam telah tiba.” Tiba-tiba suara lelaki
muncul dari balik tubuh Sarah.
Sarah terperanjat, seketika duduk
melihat ke arah sumber suara lelaki tersebut. Lelaki bertubuh tegap, dengan
tinggi yang lebih dari tingginya, namun wajahnya tidak terlalu kelihatan,
mungkin gara-gara hari sudah gelap, sehingga wajahnya tertutup malam.
“Lebih tidak baik lagi
mengagetkan orang, seperti penculik saja.” Sarah membuang muka.
Lelaki itu tertawa, “Aku serius,
kata orang sekitar sini, kalau ada perempuan cantik yang sendirian bermain
sampai gelap di pantai, maka naga laut akan datang dengan ombak yang besar, dia
akan memangsa gadis tersebut.”
“Kamu tidak lucu.”
“Baiklah, coba lihat saja, tadi
air laut tidak setinggi ini beberapa menit yang lalu. Itu tanda-tanda naga laut
akan datang.” Lelaki tersebut menunjuk ke arah air laut yang meninggi, dan
beranjak pergi meninggalkan Sarah. Sarah memang baru sadar, kalau ujung jari
kakinya sekarang tenggelam oleh air laut, sebagai anak yang baru saja berumur
enam belas tahun, dia masih suka percaya dengan hal-hal yang aneh, terlebih
yang mengucapkannya juga merupakan orang yang aneh.
“Tunggu.” Sarah mencoba memanggil
lelaki tersebut, sambil berlari kecil mengejarnya, sayangnya dia tersandung
karang, walaupun tidak jatuh, kerasnya kerang membuatnya meringis kesakitan.
Lelaki tersebut bergerak cepat
mengeluarkan plester dari kantongnya, dan menutup luka Sarah yang dibuat oleh
kerang tersebut. “Panggil saja, Boni. Di sekitar sini memang banyak kerang yang
cukup tajam kalau tidak hati-hati, ya bisa seperti ini.”
“Bagaimana bisa kamu membawa
plester kemana-mana? Seperti anak kecil saja.”
“Ibuku selalu menyelipkan plester
ke kantungku, padahal aku tidak pernah terluka, aku tidak suka bermain di
luar.”
“Sama seperti ibuku juga seperti
itu.”
“Selesai, masih sakit?”
“Tidak, terima kasih. Kamu orang
sini?”
“Bukan, aku hanya berlibur.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Berani sekali, berapa umurmu?
Aku pikir kita seumuran.”
“Iya sepertinya, aku akan berumur
enam belas minggu depan.”
Sarah mengangguk pelan, tanda dia
mulai bisa mengenal siapa lelaki yang ada di hadapannya. Boni namanya,
menawarkan Sarah untuk mengantarnya pulang ke villanya. Kebetulan gara-gara
luka barusan, dia semakin tidak mood untuk bermain lebih lama di pantai, dia
ingin buru-buru menikmati kasur yang empuk di villa.
“Aku memperhatikanmu dari jauh,
sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu.” Tanya Boni penasaran.
“Bukan apa-apa.”
“Tatapan matamu tidak bisa
bohong, aku bisa melihatnya. Kamu juga terlihat beberapa kali menatap kosong ke
handphone-mu.”
Jalanan lengang sejenak, Sarah
terdiam sesaat. Perasaan gelisah yang daritadi berkecamuk, dan luka perih yang
semakin membuat keadaan semakin menyebalkan membuatnya memulai cerita yang
sudah membuatnya terlihat tidak bahagia di tempat seindah ini.
“Hari ini aku ulang tahun.”
“Selamat ulang tahun.” Boni
merespon cepat ucapan Sarah.
Sarah tertawa kecil, “terima
kasih. Tapi bukan itu masalahnya, Maulana, pacarku belum mengucapkan ucapan
padaku. Kami memang sempat marahan kemarin-kemarin sebelum berangkat ke sini,
seharusnya dia ikut bersamaku berlibur di sini, namun tiba-tiba saja dia bilang
tidak bisa gara-gara dia mendapat tiket gratis untuk nonton bola di Jakarta.
Tiba-tiba saja dia membatalkan semua ini. Aku tahu dia gila bola, tapi hari ini
kan ulang tahunku, apakah dia lupa?”
Sarah terlihat menahan tangis,
namun cepat-cepat dia usap air matanya, mungkin dia malu menangis di hadapan
orang asing yang baru ia temui. Boni tidak langsung merespon, dia hanya
mendengar.
“Makanya barusan aku mengirim sms
kepadanya, aku minta putus. Bukan hanya sekali dia seperti ini.”
“Itu terserah padamu, aku tidak
ingin mencampuri. Tapi, yang ingin tanya, lalu untuk apa kamu pergi berlibur?
Kamu bahkan tidak terlihat seperti orang yang berlibur.”
“Aku sedang muak dengan keadaan
di rumah. Aku pikir dengan pergi ke Bali bersama pacar aku bisa mengobati rasa
sedihku, tapi ternyata sama saja.”
“Muak kenapa?”
“Orang tuaku akan bercerai,
Mamaku sepertinya tidak tahan dengan kelakuan Papaku yang jarang di rumah,
terlalu sering Papa pergi dinas, tidak masuk diakal kalau menurut Mama. Sampai
suatu hari Mama melihat bukti yang membuatnya mengambil keputusan cerai di
handphone Papa, foto mesra dengan wanita lain.”
Boni terlihat sangat terkejut,
sepertinya dia tidak menyangka masalah Sarah serumit ini. “kamu tahu darimana?”
“Mama menceritakannya padaku, aku
dan Mama cukup dekat.”
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud
membuatmu bercerita mengenai ini.”
“Tidak apa, justru aku berterima
kasih, aku jadi sedikit lega dengan bercerita denganmu.”
“Lalu, kamu anak pertama?”
“Iya, aku punya satu adik. Tapi…”
“Tapi, kenapa?”
“Dia terlalu kecil untuk bisa
menerima hal seperti ini, Mama sengaja tidak memberitahukan hal ini padanya.
Lagipula dia orangnya pendiam, aku takut apabila dia mendengar hal ini, nanti
dia akan lebih parah keadaannya.”
“Menurutku tidak akan seperti
itu. Pendiam bukan berarti dia lemah atau penakut, mereka hanya memilki hal-hal
yang tidak bisa orang biasa mengerti. Aku juga punya adik seperti itu, makanya
aku tahu. Lebih baik kamu cepat beritahu dia, sehingga dia bisa lebih cepat
tahu dan tidak akan begitu kaget apabila hal tersebut terjadi.”
“Menurutmu begitu?” Sarah seperti
tidak percaya.
Boni mengangguk pelan.
“Sepertinya, villa kamu sudah terlihat.”
Sarah memandang jauh, benar apa
katanya Boni, villanya sudah di depan matanya. “kalau begitu, aku pamit, ya.
Terima kasih, senang ketemu denganmu. Oya, kamu ada nomor handphone?”
“Ah, maaf aku belum punya, aku
masih belum diizinkan Mamaku buat punya handphone.”
“Aneh, kamu sudah besar, lalu
bagaimana orang tuamu menghubungimu.”
“Tenang saja, orang tuaku percaya
padaku. Oya, salah satu restoran di The Bay Bali tadi adalah tempat favoritku,
kalau mau besok kamu bisa ke sana, kita akan bertemu lagi. Masakan di sana
adalah yang terbaik di daerah sini. Jam 7 malam, ya? Masih di sini kan?”
“Baiklah.” Jawab Sarah sambil
tersenyum.
Boni berlalu setelah berpamitan
dengan Sarah. Melambaikan tangannya sambil berlari pulang, hingga tertutup
gelap.
***
“Bagaimana? Enak, kan?”
Sarah tersenyum tidak sempurna,
karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Boni tertawa melihat ekspresi lucu
Sarah yang terlihat lahap menyantap makanan.
“Mamaku tidak pernah memasak
seperti ini, paling-paling telor mata sapi.”
“Walaupun hanya telor mata sapi,
tapi kamu tetap memakannya, kan?”
Sarah mengangguk tegas.
“Oya, aku punya sesuatu untukmu.”
Boni mengeluarkan benda dari kantungnya yang berbentuk seperti gantungan kunci,
namun dengan benda bulat indah sebagai perhiasan utamanya.
“Apa ini?”
“Benda berharga milik temanku,
dia memberikan padaku dan menyuruhku untuk memberikan kepada seseorang yang
sangat spesial untukku. Aku pikir kamu orang yang tepat.”
“Tapi, kan kita baru saja
bertemu.”
“Memang aneh, tapi aku merasa
seperti itu. Kamu seperti orang yang sudah lama kukenal.”
Sarah menatap dalam gantungan
kunci tersebut, dia tidak menyangka akan mendapatkan barang seindah ini dari
orang yang baru ia temui kemaren. “terima kasih, ini indah sekali.”
Boni tersenyum melihat Sarah yang
menyukai barang pemberiannya, tidak ada yang lebih menyenangkan apabila kamu
memberikan sesuatu yang bisa membuat orang lain terlihat bahagia. Tidak ada
lagi tampang gelisah dari tatapan Sarah, itu sudah cukup membalas dari hadiah
yang ia berikan.
“Jadi, liburan di Bali, memang
menyenangkan, bukan?”
Sarah mengangguk pelan.
“Tapi, itu saus tomat dibersihin
dulu. Cemong dimana-mana” Boni tertawa.
Sarah tertawa juga sambil
membersihkan saus tomat di dekat pipinya, mereka berdua berada di restoran
tersebut hingga malam yang cukup wajar. Boni lagi-lagi mengantarkan Sarah
pulang ke villanya. Sarah tidak percaya liburan yang singkat bersama orang yang
baru dikenalnya lebih bermakna daripada bermain dengan teman-temannya, bahkan
dengan keluarganya. Seakan-akan Sarah ingin menahan tangan Boni untuk tidak
pergi meninggalkannya, Boni seperti memiliki aura yang sangat menenangkan bagi
Sarah, semenjak dia bertemu dari kemarin.
“Semoga kita bisa bertemu lagi,
Boni. Maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa.”
“Santai saja. Kita pasti akan
bertemu lagi, tenang saja. Oya, kirimkan salamku untuk adikmu ya.”
“Pasti.”
“Aku pamit dulu, sampai jumpa.”
Boni berlalu begitu saja, menghilang bersama gelapnya malam.
“Boni, jangan kayak anak kecil,
sana beli handphone!” Teriak Sarah.
Boni tertawa dari kejauhan,
wajahnya yang menenangkan itu makin menghilang, kabur termakan gelap. Hanya
beberapa saat dibutuhkan malam untuk menelan lahap-lahap sosok yang bisa
membuat Sarah lebih bisa mengeluarkan senyum yang tulus.
“Siapa tuh?” Karla, teman Sarah
menggodanya.
“Teman yang baik hati dan tidak
sombong.” Jawab Sarah singkat dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Karla kesal dengan jawaban Sarah,
kemudian langsung memeluk Sarah dari belakang dan bersenda-gurau bersama di
dalam kamar.
***
Sarah sampai di rumah ketika
rumah seperti biasanya, tidak ada orang. Oh, ada mbak Sum, dia sedang
membersihkan kamar mandi. Namun, yang tidak seperti biasanya adalah apa yang
dia lakukan setelah masuk ke dalam rumah, dia langsung menuju kamar Toni dan
melihat Toni sedang tidur pulas. Maklum, hari ini adalah hari minggu dan memang
waktunya tidur siang. Aku bisa melihat ekspresi Sarah berbeda dari yang
sebelumnya, dia sepertinya sedikit berubah setelah liburan ini.
Sayang, gerakan-gerakan yang
sengaja Sarah pelankan, tetap bisa membuat Toni terbangun. Toni menatap lama
kakaknya yang baru saja datang dan bingung sedang apa kakaknya berada di
kamarnya, seumur-umur kakaknya tidak pernah masuk ke dalam kamarnya dalam waktu
yang cukup lama.
“Kakak sudah pulang?”
Sarah mengangguk pelan, dan
mencium dahi adiknya itu, “ada salam dari teman kakak buat kamu.”
Toni hanya tersenyum
menanggapinya. “Itu, apa kak?”
“Ini oleh-oleh dari teman kakak.”
Sambil memperlihatkan kepada adiknya, “cantik, kan?”
Toni mengangguk senang, senyumnya
makin lebar. Sarah sangat kaget dan senang melihat adiknya bisa tersenyum lepas
seperti ini, ini untuk yang pertama kalinya dia melihatnya. Aku sendiri
bingung, bagaimana bisa dia tersenyum melihat barang tersebut? Dia seharusnya
tidak mengingat kejadian sebelumnya. Itu termasuk dalam syarat yang sudah
kuberikan. Tapi melihat senyumannya tadi aku jadi bisa mengerti alasannya
kenapa dia masih bisa tersenyum seperti itu. Aku tertawa senang.
“Baiklah, kakak mau mandi dulu,
ya. Nanti setelah makan malam, kakak mau ngomong sesuatu yang serius. Oke?”
Toni mengangguk, lalu kembali
menarik selimutnya.
Sarah berjalan pelan ke luar
kamar, namun dia berhenti ketika melihat akuariumku, tempat aku tinggal
beberapa tahun ini.
“Toni, kamu biarin kura-kuramu
mati? Kamu nggak kasih makan?”
Toni tidak mendengar, mungkin
lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarnya. Dia tetap bersembunyi di balik
selimutnya. Sarah mengambil tubuhku dari akuarium tersebut, dan membawanya ke
taman belakang. Ah, aku baru sadar aku masih di dalam akuarium, aku seharusnya
bisa terbang kemana-mana saat ini. Benar juga. Sekarang aku bisa terbang kemana
saja. Saatnya aku mencari petualangan yang lainnya. Sampai jumpa lagi, Toni,
Sarah. Senang bertemu denganmu. Semoga kalian bahagia selalu.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!