Friday, June 28, 2013

Banjir

Gelap, lalu terang. Itulah yang kulihat. Aku berada di sebuah kasur, aku merasakan sesuatu yang empuk di punggungku. Apa lagi selain kasur? Tapi, yang berbeda adalah badanku tidak bisa digerakkan sesuai keinginanku. Aku tidak kuat menggerakkan tubuhku. Aku menatap langit-langit ruangan dalam-dalam. Berpikir, apa yang terjadi padaku? Aku harus mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelum aku dibawa keruangan ini.

***

"Ayah!"

Aku mendengar teriakan anakku. Aku yang berada di lantai dua rumahku, bisa mendengar anakku berteriak di bawah. Bahkan, setelah itu aku bisa mendengar suara derap langkah anakku yang berlari di tangga. Aku sudah berpikir macam-macam, tidak biasa Dian, anakku berteriak seperti itu. Teriakannya sungguh mengerikan. Aku yang sedang tiduran dan menonton televisi, langsung terbangun melihat ke arah tangga rumah.

"Ada apa nak?"

"Banjir, Yah!"

Suara gemuruh datang menerpa. Kamu tahu? Inilah saat yang paling menegangkan buatku.

Anakku benar, banjir bandang datang mengenai rumahku. Tidak, sepertinya tidak hanya rumahku, banjir ini datang menggilas kota ini, kota yang sudah langganan banjir bandang. Tapi, aku tidak pernah mendengar suara gemuruh sekeras ini. Banjir apa ini? Atau tsunami kah? Aku tidak mengerti. Aku berdiri begitu melihat anakku sampai di lantai dua.

"Ibu mana?" Aku berteriak, panik.

"Aku gak tahu. Mungkin di kamar bawah, lagi tidur. Aku lupa. Maaf , Yah." Anakku terisak. 

Braak.

Suara keras tiba-tiba terdengar. Aku buru-buru melihat keluar, aku berlari ke arah balkon. Melihat keadaan di luar, ini sungguh sulit dipercaya. Sebuah banjir menerjang kota kami. Gelombang air datang dari arah utara, sungai kota memang ada di utara, dan sungai itu yang sering jadi masalah di kota kami. Tapi, banjir sebesar ini belum pernah aku rasakan sedari aku kecil tinggal di sini. Ini mengerikan. Gelombang air itu datang setinggi satu setengah meter, dengan kecepatan yang cukup mengerikan. Ah, Karina! Karina masih di kamar!

"Kamu tunggu di sini. Kamu ke balkon, lihat terus kondisi banjirnya. Tolonglah siapapun yang butuh pertolongan. Jangan nangis, jangan takut, jangan panik. Ingat Ayah, kamu laki-laki. Kamu kuat! Ayah gak pernah ngajarin buat jadi anak yang lemah." Aku berkata pada Dio, dia anak laki-laki ku satu-satunya. Masih berumur 12 tahun. Tapi aku tahu dia kuat. Aku percaya itu.

Dio mengangguk, sambil menahan tangisannya. Aku tahu ini sangat mengerikan buat dia, aku pun seperti itu. Tapi ini kondisi darurat, dia harus bisa menjadi dewasa sesaat di kondisi darurat. Aku berlari sekuat tenaga ke arah tangga. Ini tidak mungkin suara keras tadi, ternyata adalah pintu depan rumahku. Sekarang pintu itu tersangkut di tangga. Ini menghalangiku untuk turun ke bawah. Lantai satuku didominasi oleh banjir, banjir yang gelap, terlalu banyak membawa kotoran, tanah, dan material lain yang ada di sungai dan kota ini.

Aku menendang pintu itu agar tidak menghalangi tangga turun, tapi sepertinya tidak terlalu banyak berpengaruh, banjir setinggi satu setengah meter tersebut membuat harapanku bertemu Karina semakin kecil. Rumahku porak poranda oleh banjir. Aku tidak boleh menyerah. Kemudian aku menendang pintu itu kembali, sehingga pintu itu terdorong ke arah dapur di belakang tangga. Jari kakiku berdarah, aku terlalu keras menendang pintu tersebut. Air banjir itu masuk dari pintu depan, dan tangga yang sekarang kuinjak ada di depan ruang tamu dan pintu depanku. Kamarku dan Karina masih tertutup. Aku harus lekas ke sana. Tapi banjir deras ini membuatku ciut. Seandainya wajah manis, dan senyuman yang menyejukkan Karina tidak muncul dipikiranku, mungkin aku sudah pasrah menerima keadaan ini. Aku melompat, terjun ke dalam air.

Air sangat deras, aku salah dalam menebak. Aku terbawa oleh arus deras ini sampai ke dapur rumahku. Air sempat masuk ke dalam hidungku, itu yang membuatku tambah panik. Semakin aku panik, semakin aku terbawa arus air. Sesaat, ada balok yang untungnya tidak terlalu besar menghajar kepalaku, balok itu terbawa arus air dari luar. Sakit sekali. Aku terdiam sejenak, untung saja aku tertahan oleh tembok rumahku yang menahanku untuk tidak terbawa arus kembali. Aku mengelus kepalaku yang terkena balok itu, cairan merah tertempel di ujung jariku.

Aku mendengar isak tangis Dio, dia berada di tangga. 

"Dio, jangan nangis. Ayok kamu kuat."

"Ayah dimana?" Jawab dio sambil terisak.

"Ayah dibalik tangga, dekat dapur. Terbawa arus. Ayah susah mendekati kamar Ibu. Tapi tenang, Ayah akan berjuang untuk menolong Ibu."

Dio menangis lebih keras. Aku harus mendekati Dio. Aku berjalan pelan, menyusuri tembok, agar aku tidak terbawa arus air. Meraih balok kayu penyangga tangga untuk bisa bergerak ke arah Dio di tangga. Arus deras ini menghalangiku untuk bisa berjalan dengan lancar. Pelan, tapi akhirnya aku bisa meraih tangan Dio setelah berhasil mencapai tangga.

"Ingat, apa yang Ayah bilang di atas. Masih ingat tugasmu apa? Serahkan Ibu pada Ayah, kamu harus bisa menjadi pahlawan kebenaran di balkon atas. Mengerti? Memang tidak gampang, tapi tidak ada yang bisa menjadi seperti itu selain kamu. Ayah percaya sama kamu." Aku menatap dalam kepada Dio. "Jangan menangis lagi ya."

Dio menyeka air matanya. Sepertinya dia mengerti, dia adalah harapan setiap orang. Dia harus ada dan siap siaga menghadapi ini. "Ayah, hati-hati. Ini buat lap darah Ayah." Dio memberikan baju yang ada di badannya.

"Jangan panggil Ayah keren, kalau gak bisa nolong Ibu." Dio berlari menaiki tangga. Iya, nak. Kerenmu turun dari aku. Kamu pasti bisa.

Aku kembali fokus ke Karina. Tidak ada suara apapun dari dalam kamar, aku berharap Karina tidak apa-apa. Aku berlari ke atas tangga, melihat sapu, dan tongkat pel. Aku mengambil kedua barang tersebut, kubawa ke bawah tangga. Aku bisa menolong Karina dengan sapu ini. Aku mengikat sapu dan tongkat pel itu dengan menggunakan baju Dio, supaya bisa lebih kuat menahan derasnya air ini.

Aku menaruh tongkat gabungan itu, di sela pintu kamar Karina dan tangga yang memang tidak terlalu jauh untuk kujadikan jembatan sehingga aku bisa mencapai pintu kamar Karina. Aku memastikan kedua tongkat itu dengan memukul-mukulnya. Setelah yakin kalau itu cukup kuat, aku menggunakan tongkat untuk menyebrang ke pintu Karina dari tangga. Aku perlahan berjalan ke arah pintu, Karina bergantung padaku.

Aku sampai di depan pintu, ternyata pintu kamar tertutup rapat. Aku bingung bagaimana bisa membuka pintu ini. Aku pukul dengan keras juga tidak bisa. Aku tidak bisa menendang pintu ini, air membuatku susah mengeluarkan tenaga yang cukup untuk mendobrak pintu ini. "Karina, kamu di dalam?" 

Tidak ada suara balasan.

Aku kembali mendorong pintu sekuat tenaga, ternyata pintu bisa bergerak, walaupun sedikit. Pintu kamar ternyata terhalang lemari buku yang ada di kamarku dan Karina. Dari celah pintu tersebut aku buka dengan tenaga sisa yang kupunya. Aku sudah lemas, tenagaku habis dengan cepat. Air deras ini menguras tenagaku. Aku berhasil membuka pintu ini, walaupun celah yang kubuat tidak besar. Banjir juga masuk ke dalam kamar dengan ketinggian yang sama. Sepertinya air juga masuk dari jendela yang ada di kamar.

Aku melihat ke arah kamar, tempat tidur. Tidak ada Karina. Aku masuk dari celah yang cukup untuk orang dewasa itu, aku melihat ke segala sudut rumah. Tidak ada Karina. Aku kehilangan harapan. Dimana dia?

"Randi.."

"Karina! Kamu gak apa-apa?" Karina ternyata tersangkut di lemari buku yang menghalangi pintu tadi.

"Dingin.. Kakiku gak bisa digerakkan, gak ada rasanya."

Aku memeluk Karina, menggendongnya di bahuku. Untung saja aliran air sudah tidak begitu deras. Tapi masih tetap tidak bisa membuatku bergerak dengan leluasa. Aku bergerak perlahan, aku membuka lebih lebar lagi pintu kamar. Agar aku bisa melewati dengan Karina di bahuku, sepertinya kaki Karina patah. Aku tidak bisa melihat, aku hanya bisa merasakannya. Aneh tapi sudahlah itu tidak penting.

"Ibu!" Dio berteriak dari tangga.

Aku kaget, Dio masih di tangga. "Bagaimana keadaan di luar?"

"Beberapa naik ke balkon kita. Aku biarkan mereka, ada yang masih sadar. Aku khawatir dengan Ibu."

Aku kembali berpegangan dengan tongkat tadi, aku menyusuri tongkat perlahan. 

Kraak.

Tongkat itu patah. Aku dan Karina terbawa arus air. Kami melaju kencang ke arah dapur kami. Sepertinya tongkat itu tidak kuat menahanku dan Karina bersamaan. Aku harus diet setelah selamat dari sini. Aku tidak ingat apapun setelah itu. Rasanya semuanya gelap.

***

"Ayah sudah bangun?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari anakku, Dio. "Ibu bagaimana?"

"Aku memanggil orang yang masih sadar di balkon atas setelah aku menolongnya, untuk menolong kalian yang terbawa arus. Ayah dan Ibu pingsan setelah menabrak tembok, karena terbawa arus. Tapi tenang, gara-gara orang itu, Ayah dan Ibu selamat. Ibu hanya mengalami patah kaki. Tapi Ayah.."

Aku menatap dalam anakku. "Ya?"

"Ayah patah tulang punggung. Ayah terlalu parah ketika menabrak tembok. Ayah lumpuh."

Lumpuh ya? Masih hidup seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Ah, aku ingin lanjut tidur. Aku masih ngantuk. "Sudahlah, bangunkan Ayah kalau Ibu sudah sadar ya." Aku melanjutkan tidurku yang terpotong.

0 Komentar:

Post a Comment