Monday, June 24, 2013

Memancing (Part 2)

Aku mulai bosan, hampir putus asa. Aku sudah dua jam tidak mendapatkan ikan. Tanganku pun sampai pegal, memegangi tali pancing ini. Perasaan, aku sudah sangat menghayati ini. Aku mencoba merasakan perasaan ikan yang akan memancing, perasaan ragu untuk memakan makanan yang tidak jelas darimana, tahu-tahu muncul begitu saja. Kemudian ikan itu mencoba mengadu nasib, dia tahu makanan itu kemungkinan adalah kail yang disediakan oleh manusia, tapi karena dia hanya tahu masalah makanan, dia ambil resiko itu. Ketika gerakan tali terasa sampai tanganku, akibat gigitan ikan tersebut, saat itulah aku menarik tali pancing ini. Sayangnya itu cuma perasaanku saja, perasaan itu selalu bisa salah.




Matahari sangat terik, aku merasakan panas yang belum pernah kurasakan ketika aku di darat. Panas matahari di tengah laut sangatlah luar biasa. Aku yang terbiasa bermain panas-panas ketika di lapangan, harus mengakui keganasan matahari. Kepalaku pusing, dan aku pun menjadi mual. Tidak ada pohon, tidak ada semilir angin, tidak ada awan, langit cerah. Ini benar-benar luar biasa.

"Ayah.."

"Kenapa, Brian?"

"Kepalaku pusing, mual, Yah." Aku benar-benar kepanasan. Padahal aku sudah memakai topi, tapi tidak menggunakan penutup topi di belakang kepalaku. Seperti yang dilakukan Ayahku dan saudaranya.

"Kamu kepanasan, Brian. Kamu tidur saja dulu sebentar. Sekitar sejam lagi kita akan makan siang. Nanti ayah bangunkan." Ayah memberiku handuk untuk dipakai sebagai bantal ketika aku tidur.

Aku berjalan menuju rumah kecil, di tengah kapal tersebut. Aku berjalan sambil berpegangan pinggir kapal, karena aku sudah sangat merasa pusing. Ternyata, di dalam rumah tersebut juga ada nelayan yang sedang tidur. Sepertinya, dia juga kepanasan seperti aku. Aku pun senang, karena punya teman yang juga kepanasan.

Aku merebahkan badanku, memang tidak ada bantal. Hanya ada lantai kapal yang terbuat dari kayu. Sayangnya, tempat ini tidak sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir di rumah ini karena beratap, jadi bisa lebih sejuk daripada di luar. Ternyata aku salah, di dalam sini panas terik memang tidak terasa, tapi hawa panas masih ada. Ah, ini benar-benar siksaan yang luar biasa. Ditambah, rumah tersebut dekat dengan mesin kapal yang berbunyi nyaring dan berbau mesin, ah sungguh memabukkan. Mau tidak mau, aku harus tidur. Bagaimanapun keadaan yang ada. Kalau tidak aku akan mati lemas di sini. Aku melihat nelayan tersebut bisa tidur dengan pulas, aku juga percaya kalau aku juga bisa tidur dengan pulas. 

Susah memang awalnya, tapi aku pun akhirnya tertidur juga. 

***

"Brian, bangun. Sudah jam 2 siang. Ayok makan dulu. Nanti lanjut tidur lagi." Ayahku membangunkanku.

Aku yang merasa sudah nyaman tidur, akhirnya terbangun, dan benar-benar terbangun karena kondisinya membuatku terjaga dengan cepat. Apalagi selain bau mesin, hawa panas, dan bunyi mesin yang nyaring itu? Aku keluar dari rumah kecil tersebut, ternyata di depan rumah kecil itu dibuat atap dari terpal. Untuk tempat makan bersama di geladak kapal. Sepertinya, semuanya baru akan makan, semuanya sedang memegang piring di tangan mereka. Bau ikan goreng masuk ke dalam hidungku, ah, sangat enak. Aku melihat makanan yang tersedia di tengah semua orang. Apa? Yang ada cuma ikan goreng, nasi, dan bungkusan garam yang robek di ujungnya. Ini makanan apa? Masa hanya makan makanan yang seperti ini saja?

"Ayok, nak Brian. Disantap makanannya." Kata salah seorang nelayan yang disampingku.

"Tapi? Kenapa hanya seperti ini?"

"Dicoba saja dulu." Pakdhe Nono tersenyum padaku. Sepertinya Pakdhe tahu kalau aku kaget dengan makanan yang ada.

"Brian, yang ada sekarang hanya seperti ini. Dimakan saja. Enak kok, coba saja." Ayah juga menambahi kata-kata Pakdhe Nono. 

Aku akhirnya mencoba makanan yang tersedia. Aku ambil piring, kemudian mengambil nasi di panci. Mereka menanak nasi dengan menggunakan air laut. Aku mengambil ikan goreng, yang ikan itu adalah hasil pancingan yang sudah didapat tadi. Bentuk ikan ini sangat tidak menarik, kalau kamu tahu, ikan laut itu punya bentuk yang aneh-aneh. Aneh buat dimakan. Terlalu berwarna, dan sepertinya penuh duri.




"Loh, kok gitu aja? Itu ditambah garam juga, Brian. Biar maknyus." Saran Paman Rano.

"Kok kasih garam sih? Kan aneh nanti. Asin." Aku menolak untuk menambahkan garam.

"Dicoba dulu, Brian." Kata Paman Rano sambil tersenyum kepadaku.

Ah, terlalu banyak hal yang baru dan aneh di kapal ini. Aku tidak habis pikir dengan semua ini. Ternyata hidup di kapal itu mengerikan, hidup sebagai nelayan itu cukup keras. Memang tidak mungkin kita membawa  bekal yang macam-macam ke kapal. Takut basi. Juga itu terlalu mahal untuk seorang nelayan. Dengan makanan seperti ini saja sudah cukup bagi mereka. Hemat.

Aku menaburi nasi di piringku dengan garam. Aku awalnya tidak ingin memakan ini, tapi apa daya perutku sudah sangat lapar. Panas terik ini membuatku menjadi cepat lapar. Aku mengaduk nasi, sehingga garamnya bisa rata pada nasi. Aku mencoba suapan pertama, dengan menggunakan tangan. Aku menguyahnya dengan pelan. Luar biasa! Nasi garam ini luar biasa! Ini enak sekali! Aku juga mencoba ikan goreng, aku taburkan sedikit garam, dan ikan goreng ini juga luar biasa! Gurih sekali! Ah lidahku seakan tidak percaya apa yang sudah dia rasakan. Ini diluar bayanganku. Apakah ini pengaruh dari keadaan kapal yang memang sudah sangat tidak enak, jadi masakan yang sederhana ini terasa spektakuler?

"Enak banget, Paman! Yah, ini enak banget!" 

Paman Rano dan Ayah hanya tersenyum melihatku gembira seperti itu. Aku memakan nasi tersebut dengan lahap, dalam sekejap aku menghabiskan satu piring itu. Begitu juga dengan ikan goreng itu. Ah, syukurlah, masih banyak ikan goreng yang bisa kumakan.

"Kamu tahu, Brian? Hampir setiap hari nelayan hidup dari makanan seperti ini. Mereka berusaha berhemat, dengan mengorbankan dirinya untuk bisa menghidupi keluarganya dari menangkap ikan. Kamu bisa bayangkan setiap hari mereka makan makanan seperti ini. Mungkin, sekali seperti kamu tidak akan apa-apa, bagaimana kalau hampir setiap hari? Ini sangat tidak menyehatkan. Jadi kamu jauh lebih dari beruntung. Pinter-pinter bersyukur ya, Nak." Ayah mengelus kepalaku, "Makanan apapun akan lebih terasa nikmat apabila dimakan bersama-sama seperti ini. Benar kan?"

"Iya, Ayah." Aku mengangguk tanda setuju.

Awan mulai menutupi matahari, sehingga udara sekarang tidak terlalu panas. Udaranya sangat sejuk. "Ayok, mancing lagi. Sudah kenyang kan? Udara juga lagi enak. Siapa tahu sekarang bisa dapat." Ajak Ayah.

"Oke."

Memang benar apa kata ayah, aku harus pandai bersyukur. Aku memang mengakui makan makanan seperti ini enak, tapi aku tidak bisa menjamin akan selalu enak. Bisa saja di hari-hari tertentu, makanan seperti ini bisa terasa tidak enak. Aku menaruh piring yang sudah kumakan di tumpukan piring kotor. Aku pun mengambil kembali pancing rentak yang aku taruh dekat Ayah.

***

Kali ini, udara tidak sepanas tengah hari tadi. Walaupun sekarang jam setengah 3 tapi matahari tertutup awan. Sehingga panas tidak terlalu terasa. Aku menenggelamkan kailku. Kali ini, aku harus berhasil menangkap ikan. Aku berjanji pada diriku. Aku sengaja memberi umpan pada kailku lebih banyak daripada yang biasa. Satu kail, bisa kumasukkan dua jenis umpan, cacing dan udang. Aku menunggu. Aku yakin dengan feelingku kali ini. Aku rasa aku bisa mengerti ikan sekarang, setelah memakan ikan laut segar.

20 menit aku tunggu kailku. Belum ada gerakan yang ada pada tali pancingku. Aku percaya umpanku belum dimakan oleh ikan. Tiba-tiba, ada tarikan lembut pada tali pancingku. Sekejap, aku langsung menghentakkannya. Begitu aku selesai menghentakkannya tali pancingku seketika menegang. Aku mendapatkan ikan! Aku senang sekaligus grogi. Ikan ini bisa saja lepas kalau aku tidak hati-hati. Aku awalnya ingin memanggil ayah karena aku berhasil menarik ikan. Tapi aku ingin menunjukkan juga bahwa aku sudah besar. Aku bisa melakukan ini. 

Tali itu menegang sangat kuat. Aku berusaha menarik tali itu dengan kencang. Tapi aku ingat perkataan ayah, kalau mau menangkap ikan, kamu harus bisa merasakan pergerakan ikan tersebut. Aku langsung diam sejenak, dan menikmati tarikan ikan tersebut. Tali itu menarik ke kanan, kemudian ke kiri, berputar-putar sekitar tempat aku memancing. Aku membiarkan tali pancingku terulur kalau memang tali pancingku sangat kuat tarikannya. Begitu, pergerakan ikan sudah sedikit tenang, atau melemah. Aku langsung sekuat tenaga menariknya dengan cepat. Dan, benar! Ikan itu sudah lelah. Aku menariknya dengan mudah. Seperti ikan tersebut juga menuju ke arahku, sehingga aku tidak perlu tenaga yang besar untuk menariknya. 

Ikan tersebut sudah mulai terlihat ke permukaan. Wow! Ikan ini besar sekali! Panjangnya mungkin sekitar 35 cm. Tapi aku bingung bagaimana mengangkat ikan ini, tarikan ikan ini semakin berat ketika di permukaan air laut.

"Ayah, aku dapat ikan! Ini gimana cara ngangkatnya. Ikannya udah muncul di permukaan." Aku memanggil Ayah. 

Ayah kemudian mendatangiku, dengan membawa sebuah tongkat jaring. Tongkat jaring itu digunakan Ayah untuk mengangkat ikan tersebut ke atas kapal. Begitu ikan tersebut muncul kembali ke permukaan, Ayah langsung menangkap ikan itu dengan tongkat jaring. Ikan itupun tertangkap dengan sempurna, dengan kailku yang tersangkut di bibir ikan tersebut. Ayah kemudian mengambil ikan dari jaring tersebut, dan menaruhnya di geladak kapal.

"Coba, kamu lepas kail dari mulutnya. Pegang dulu ikannya dengan telapak tangan kirimu agar ikannya tidak berontak. Kemudian tarik kailnya dari mulutnya dengan tangan kananmu." Ayah menyuruhku melepas kailnya sendiri. Ini sungguh mengerikan. Ikan itu licin dan menggelikan, bahkan sisinya terasa sangat tajam bagiku, "Ayok coba dulu. Masa anak laki-laki penakut gitu."

Akhirnya aku mencoba juga saran Ayah. Aku menahan ikan itu dengan tangan kiriku, agar tidak loncat. Kemudian menggunakan tangan kananku untuk mencabut kail. Ah, ini sungguh menggelikan, menyeramkan. Aku tidak tega melihat kail yang menusuk di bibir ikan tersebut. Menarik kail ini sangat mengerikan.

"Yah, gak mau kecabut. Keras, geli."

"Ditarik aja, Nak. Memang agak keras. Terus aja dipaksa. Gunakan kekuatanmu."

"Tapi licin juga, Yah. Susah nariknya. Licin."

"Lap tanganmu dulu dengan ini." Ayah memberikanku handuknya. Aku membersihkan tanganku dari lendir kulit ikan ini, yang membuat licin tanganku.

Aku akhirnya mencoba terus menarik kail ini. Keras, seperti menancap dengan sempurna di mulut ikan tersebut. Kali ini aku menggunakan kekuatanku lebih kuat lagi. Dan, akhirnya kail tersebut bisa lepas dari mulut ikan tersebut.

"Aku berhasil, Ayah!"

Ayah tersenyum melihatku berhasil menyelesaikan tantangannya.


Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment