Wednesday, June 26, 2013

Percakapan

"Cantik?"

"Iya. Kalau ada cowoknya, jadi cantik. Kalau tak ada cowoknya, biasa aja."

"Loh, kok bisa gitu ya?" Aku heran dengan pernyataan Doni.

"Itulah. Aku juga tak tahu. Aneh ya. Aku cuma merasa, kalau cewek ada cowoknya, maka dia semakin cantik di mataku."

"Mungkin kamu benar. Aku baru sadar."

"Namanya Ana, siapa tahu kamu mau nunggu dia sampai putus. Lupakan Ana, coba lihat yang itu." Doni menunjuk ke arah wanita yang berbicara dengan sebelahnya. Maklum sedang upacara.

"Hm. Menurutku, badannya oke. Proporsional. Wajah juga tak jelek. Tapi karena aku orangnya subjektif, dia terlalu liar. Lihat saja dandanannya seperti itu. Sedangkan aku tak liar. Aku tak kuat mengikuti keliaran dia. Aku tidak ingin terlihat inferior di mata cewek."

"Begitukah? Menurutku, malah itu tantangan. Kamu bisa menaklukannya, maka kamu menjadi raja yang diakui. Kamu akan punya banyak pengikut!"

"Entahlah. Sudah kubilang, aku orang yang subjektif kalau melihat seperti ini."

"Baiklah, Clara memang seperti itu."

"Daripada Clara, coba lihat Mutia." Kali ini aku yang menunjuk seorang wanita yang diujung barisan. Tidak terlalu jelas, tapi aku tahu kalau itu Mutia. Aku sering memerhatikannya.

"Manis, tertutup fisik dan hati. Cuma itu yang bisa kukatakan."

"Kurang satu lagi, kawan."

"Apakah itu? Banyak penggemar?"

"Benar, tapi ada alasan yang jelas kenapa dia memiliki banyak penggemar."

"Tak kusangka, kamu lebih suka memperhatikan cewek seperti dia."

"Tak usah membelokkan masalah. Mutia, walaupun tertutup semuanya. Auranya berbeda, kawan. Entah, mungkin kalau kucoba mengartikan. Aura itu aura seksi. Entahlah, apakah karena hanya aku yang terlalu kotor atau memang seperti itu adanya." Aku menjelaskan dengan penuh keyakinan.

"Hm. Sepertinya kamu tidak salah, kawan. Kamu benar. Ah, kamu memang hebat! Tenang, tapi menghanyutkan. Kamu memang seperti itu. Ah, kenapa aku tak sadar-sadar. Pantas saja, begitu banyak yang rela bertumpah darah untuk meruntuhkan bentengnya itu. Sayang, sepertinya dia sudah punya komitmen yang lebih keras dari benteng itu. Kasihan penggemarnya. Tapi tumben kamu bisa berpikir seperti itu."

"Aku juga bingung. Mutia memang pengecualian."

"Kamu suka?"

"Mungkin lebih tepatnya komitmen dia yang lebih keras itu, adalah aku."

"Bercanda."

"Iya, bercanda. Tenang saja."

"Okelah. Terus kalau Jihan, bagaimana?"

"Perfect! Entah, aku merasa dia cewek paling nomor 1 di kota ini. Berlebihan sih, tapi bisa kamu bayangkan. Seorang wanita yang berambut panjang, sedikit pirang, tapi tetap elegan. Tidak seperti cewek-cewek galau yang berkeliaran bebas sekarang ini. Dandanan tidak terbuka, tapi rapi. Ini menandakan kelas dia memang berbeda dari cewek yang memang mengumbar kemurahannya. Prestasi? Tidak usah ditanya, dia berkali-kali mewakili sekolah ini untuk bepergian di luar kota, bahkan luar negeri. Ah, seandainya aku ada keberanian lebih banyak. Juga punya banyak modal, lebih tepatnya modal kepribadian. Dia bisa menghargai cowok yang baik dari dalam." Kali ini aku juga bersemangat.

"Terlalu berlebihan, kawan. Tapi sebagian dari penjelasanmu aku sepakat. Sayang kita terlalu miskin kepribadian sehingga mendekati, bahkan menyapanya adalah hal yang tabu."

"Yah, kita memang bukan siapa-siapa. Kita bahkan tidak bisa masuk dalam jangkauan mereka. Kita berada di dunia yang berbeda."

"Kamu benar, kawanku. Tapi tidak ada salahnya kita membicarakan mereka. Bukankah, kita masih laki-laki tulen? Kalau kita sudah jadi waria, mungkin tidak pantas kita membicarakan mereka."

Aku menggangguk, tanda setuju. "Ayuk, kita lanjutkan kerjaan kita."

"Oke, tapi kali ini kamu ya yang teriak-teriak. Aku hanya menawarkan koran ini ke orang-orang."

"Ayo, pokoknya yang jual paling sedikit, dia yang nraktir es kelapa di belakang sekolah ini."

Doni mengangguk sambil tersenyum. Kami pun berdiri bersamaan, berjalan menuju perempatan lampu merah.

0 Komentar:

Post a Comment