Thursday, June 27, 2013

Pasar Hantu

"Pasar hantu?" Aku berkata tidak percaya.

"Iya, serem kan? Aku aja takut pas diceritain Kana."

"Terus? Gimana, Fen? Duh, serem juga ya."

"Jadi, gini Dar. Pasar hantu itu selalu pindah-pindah. Pasar hantu akan muncul di waktu yang selalu gak diduga. Kadang pagi, kadang sore, kadang malam. Tapi gak pernah siang. Biasanya pasar hantu muncul di tanah-tanah kosong, atau di rumah-rumah kosong. Yang jelas hantu-hantu itu butuh tempat untuk mereka berjual-beli. Iya, mereka sama seperti kita. Butuh tempat interaksi, tempat membeli, dan tempat menjual."

Aku mengangguk dalam diam. Jantungku berdegup cepat. Telapak tanganku pun ikut berkeringat seperti dahiku sekarang ini. Aku memang penakut, aku mengakui itu. Sudah Feni, tolong berhenti bercerita.

"Sekarang sih katanya, pasarnya ada di.." Feni berhenti berbicara. Dia menoleh perlahan ke arah tanah kosong di dekat rumah Darius. 

"Feni, ayuk pulang. Sudah sore."

"Aduh, Dara. Aku pulang duluan ya. Udah dipanggil Mama nih. Daaah." Feni melambaikan tangannya, sambil berlari menuju rumahnya di ujung jalan.

Rumah Darius, rumah Feni masih di komplek perumahan yang sama dengan kami. Iya, aku, Feni, Kana, dan Darius berada di komplek perumahan yang sama. Kami adalah teman sepermainan di lingkungan rumah. Tanah kosong yang ditunjuk Feni itu berada di sebelum jalan ke rumahku. Sepertinya tanah kosong itu akan dibangun rumah, tapi entah berita itu sudah lama ada, dan sampai sekarang tidak ada rencana pembangunan sama sekali. Tidak ada pasir, kayu, bahkan batu bata untuk membangun sebuah pondasi.

"Ayuk, Dara juga pulang ya. Tadi Mamamu bilang sama tante." Mama Feni berkata padaku.

"Baik, tante. Pamit ya."

Aku pulang menuju rumahku yang berbeda gang dengan Feni. Tapi gara-gara cerita Feni, perjalanan pulangku jadi terasa sangat panjang. Aku harus melewati tanah kosong itu. Kali ini, keringat dinginku muncul kembali. Ini sangat menyeramkan. Aku berjalan cepat ketika mulai mendekati tanah kosong tersebut, aku tidak berani sedikit pun menoleh ke arah tanah kosong tersebut. Padahal aku tahu, tidak ada yang menyeramkan di tanah kosong tersebut. Aku menutup mata ketika melewati tanah kosong tersebut. 

Ketika aku merasa sudah melewati tanah kosong tersebut, aku membuka mata. Aku melepaskan telapak tanganku dari wajahku. Tapi, ternyata aku sama sekali belum melewati tanah kosong tersebut. Aku masih berada di depan tanah kosong tersebut. Tanah kosong yang rumput liar bebas tumbuh di atasnya. Sebuah pohon beringin yang rindang, sepertinya sudah bertahun-tahun di sana. Dan sebuah meja tua yang dibuang oleh entah siapa. Meja tua itu telah rusak, karena sering dimainkan oleh anak-anak lain dulu.

Aku terdiam, seakan aku di sepatuku ada sebuah lem yang lengket di depan tanah kosong tersebut.

"Hayo."

"Ah, kakak. Bikin aku kaget aja." Aku hampir terjatuh karena kakakku.

"Ayuk, pulang sama-sama."

Aku mengangguk pelan. "Kakak tahu tentang tanah kosong itu?"

"Oh, kamu baru tahu ya? Itu gosip lama komplek ini. Gak usah percaya." Kakak tersenyum padaku. 

Kami berjalan melewati tanah kosong tersebut. Untung saja, tidak terjadi apa-apa. Syukurlah, ada kakak di saat seperti ini. Kalau tidak, aku tidak tahu harus bagaimana melewati tanah kosong tersebut. Kami berbicara, bercanda selama perjalanan ke rumah. Memang tidak terlalu jauh jarak rumah kami dari tanah kosong tersebut tapi cukup untuk kami berdua bersenda-gurau.

Tapi, kakak tiba-tiba berhenti. Diam. Aku yang tidak tahu apa-apa juga ikut terdiam. Kakak yang diam, membuatku berpikir yang macam-macam. "Jangan noleh-noleh ya. Lihat lurus ke depan saja. Jangan sekali-sekali noleh. Janji?"

"Kenapa kak? Iya kak, aku janji." Aku menundukkan kepala. Aku tidak berani melihat apa yang ada disampingku. Kakak hanya diam. Yang kutahu, disampingku tidak ada tanah kosong, yang ada hanya rumah salah satu tetangga. Ramai, karena memang ada kehidupan di dalamnya. Tapi sore itu, rumah itu terlalu ramai. Mungkin keluarga besarnya datang. 

Kakak menggandeng tanganku dengan erat, lalu mengajakku untuk berjalan lebih cepat. Sambil tangan lainnya, ditaruh di bahuku. Mungkin untuk menjaga aku untuk tetap fokus ke depan jalan. Dalam beberapa saat aku dan kakak sudah sampai di dekat rumah, kira-kira 20 meter lagi, kami sampai di rumah kami.

"Kenapa kak tadi?"

"Gak apa-apa. Cuma iseng aja." Kakakku menyeka keringat di dahinya. Salah sendiri, seharusnya bisa santai berjalan, kenapa memilih jalan cepat yang melelahkan.

"Yasudah." Aku masuk ke dalam rumah.

"Eh, Dara. Jangan main ke rumah kosong itu ya?"

"Yang mana kak? Tanah kosong kali."

"Bukan, yang tadi kakak suruh ngeliat ke depan aja. Tadi bulu kuduk kakak merinding pas ngelewatin rumah itu. Mana pintu sama jendelanya pada terbuka lagi. Makin serem dah." Kakak menyusul masuk ke rumah, melewati aku yang sedang berdiri dekat pintu.

Aku hanya bisa diam. Aku tidak menyangka kakak begitu jahat menceritakan itu padaku. Aku benci kakak.

0 Komentar:

Post a Comment