Saturday, June 22, 2013

Sore di Sekolah (Part Finale)

"Aduduh. Sakit, Ma." Aku mengerang kesakitan. Hidungku memang tidak patah, pukulan Akbar tidak tepat mengenai hidungku, hanya sedikit mengenai hidung dan pipi. 

"Jangan gerak makanya. Lagian, di sekolah tuh nyari teman, bukan nyari musuh. Pacar siapa lagi yang kamu rebut?" Mama membersihkan lukaku dengan menggunakan handuk basah. 

"Gak ada kok, Ma."

Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan Mama seperti itu. Apakah iya, Akbar mengira aku punya hubungan dekat dengan Ajeng? Aku tidak pernah sampai seperti ini dengan Akbar. Memang aku sering bertengkar dengan Akbar, tapi sebuah tinju di hidung? Ini berlebihan. Aku harus segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

"Hey! Jangan gerak, plesternya belum nempel bener." Mama menyuruhku kembali duduk, tapi aku tetap berdiri dan pergi dari tempat aku dirawat, ruang tengah.

***

Aku pergi ke sekolah, padahal hari ini minggu. Tapi aku tetap berharap menemukan salah seorang, Ajeng ataupun Akbar. Masalah ini tidak bisa dibiarkan, kalau tidak masa-masa SMAku tidak akan berakhir dengan baik. Aku berkeliling di sekolah, mencari sesuatu. Di kantin, perpustakaan, kelas-kelas, dan juga UKS. Tapi namanya hari minggu, semua ruangan dikunci, dan juga tidak ada orang di sekolah. Biasanya aku yang sesekali mengisi sepi di sekolah ini pada hari minggu, termasuk hari ini.

Dalam perjalananku menuju parkiran, karena aku sudah menyerah untuk mencari Akbar ataupun Ajeng, aku mendengar percakapan seseorang. Aku berlari mendekati sumber suara tersebut. Suara tersebut berasal dari parkiran.

"Terserah kamu." Seorang laki-laki berteriak. Aku tidak bisa melihat jelas siapa orang tersebut, aku hanya bisa mengintip sedikit dari celah di dekat lorong yang menuju parkiran. Sesaat berikutnya terdengar suara motor, dan sepertinya laki-laki itu menarik gas untuk pergi dari tempat ini. Ada yang ditinggal di parkiran ini.

Aku tidak berani untuk menemui seseorang yang ditinggal itu, sayup-sayup aku mendengar tangisannya. Sepertinya dia seorang wanita. Aku terpaksa memberanikan diri untuk menyambutnya.

"Anya?"

"Gilang?" Anya langsung mendatangiku dan memelukku. Dia menangis sejadi-jadinya di bahuku, sambil memelukku.

Aku tidak berani untuk menanggapi langsung apa yang sedang terjadi sekarang, aku lebih memilih diam. Membiarkan Anya mengeluarkan emosinya saat ini. Tapi aroma ini, iya aku kangen dengan aroma ini. Aku kemudian balas memeluknya. Tanganku kutaruh di belakang kepalanya. Karena aku tahu, sentuhan di kepala adalah kenyamanan yang tak terbantahkan.

Anya bercerita kepadaku, bahwa laki-laki yang bersamanya akhir-akhir ini adalah pacarnya yang baru. Dia mengaku kalau sebelum putus denganku, dia sudah bersama dengan laki-laki itu. Tapi tidak menjadi pacar, hanya disebut teman tapi mesra. Sejak tidak menjadi pacarku, dia merasa nyaman dengan laki-laki itu. Dia akhir-akhir ini sering ke rumah laki-laki itu. Nama laki-laki itu adalah Akbar. 

Akbar yang selama ini jarang pergi ke sekolah, memang mengalami depresi yang parah ketika putus dengan Ajeng. Mendapatkan sesuatu yang nyaman dengan Ajeng, tapi tidak berlangsung lama. Ajeng meminta waktu kepada Akbar untuk bisa lebih menerima Akbar sepenuhnya, tapi sepertinya Akbar tidak bisa menunggu lama. Dia ingin Ajeng menjadi pacar yang sepenuhnya, bukan yang setengah-setengah. Setengah diterima, setengah mencari kenyamanan.

Iya, Akbar dan Anya memang dekat semenjak aku mendekati Anya dulu. Jadi wajar kalau memang Anya dan Akbar memiliki hubungan yang baik. Tapi aku tak menyangka laki-laki ini yang biasa menjemput dan bersama Anya adalah Akbar. Kenapa dia harus sembunyi-sembunyi dari aku? Toh, aku tidak masalah. Akbar mau antar-jemput Anya sekolah juga aku tak masalah. Aku percaya kepada Akbar. 

Anya semakin sering mendatangi rumah Akbar karena orang tua Akbar meminta secara personal kepada Anya untuk membantu anaknya menghadapi depresi. Kenapa bukan aku? Mungkin orang tua Akbar tahu kalau aku adalah salah satu sumber masalah anaknya. Dan sekarang Akbar meninggalkan Anya karena dia masih menyukai Ajeng. Belum bisa melupakannya. Anya hanya menjadi obat pereda nyeri sementara. Dan juga, Akbar sepertinya memikirkan aku.

***

Aku seakan tidak percaya yang sebenarnya terjadi sekarang. Anya memintaku untuk memaafkan Akbar. Akbar hanya seperti itu karena itu respon yang biasa dalam menghadapi suatu permasalahan seperti ini, begitupun dengan Anya. 

"Hidungmu itu, gara-gara Akbar?"

"Bukan, ini kemarin aku menabrak tiang gawang. Bukan apa-apa."

"Jangan bohong, kemarin Akbar bercerita kepadaku kalau dia baru saja memukulmu. Dia menyesal, Lang. Tapi dia tidak tahu bagaimana menghadapimu lagi. Setelah selama ini seperti..." Anya menjelaskan masalahku dengan Akbar kemarin, tapi aku memberhentikan dia berbicara dengan tanganku. Aku tidak ingin mendengar dari Anya.

"Cukup, Nya." Aku melihat dalam kepada Anya. Aku tidak ingin dengar lebih lanjut, "Ayo, kamu kuantar pulang."

Aku menarik tangan Anya, dan membawanya ke motorku. Aku mengantarkan Anya kembali kerumahnya. Akbar sungguh keterlaluan meninggalkan Anya di sini. Sendirian. Ataukah dia tahu kalau ada aku di sekolah ini, setelah melihat motorku? Siapa yang tahu.

***

"Aku tahu kamu pasti ada di sini." Aku berbicara kepada Akbar, dia sedang duduk di pinggir lapangan minggu sore.

"Ah, ternyata kamu. Bagaimana kamu tahu aku di sini?"

"Aku mengenalmu tidak dalam beberapa hari, Bar. Kemungkinan besar kamu akan kembali ke sekolah ini sore setelah membuat beberapa masalah siang tadi. Sudah menjadi kebiasaan kamu atau aku untuk kembali ke sekolah kalau ada yang seperti ini. Tapi sayang, kali ini tidak sesederhana yang kemarin-kemarin."

"Aku tahu, Lang. Aku minta maaf."

"Bukan masalah."

"Terus?"

"Aku bingung saja dengan kamu. Anya atau Ajeng?"

"Ajeng. Itulah salah satu alasan kenapa aku memukulmu kemarin."

"Baiklah."

Aku pergi meninggalkan Akbar di lapangan itu. Setidaknya aku sudah memutuskan sesuatu.

***

Aku berjanji dengan Akbar, untuk bertemu di bioskop. Kami merencanakan untuk nonton film tentang drama cinta romantis. Biasa, anak muda seperti kami lebih mudah menangkap cerita picisan seperti itu. Aku janji untuk bertemu di depan pintu masuk bioskop. Biar kami bisa memesan tiket bareng.

"Hey, Lang." Teriak Akbar dari jauh. Dia datang dengan seseorang. Dari jauh aku bisa lihat seseorang itu adalah wanita yang manis. Dilihat dari dandananya yang feminim itu. Ah, Akbar kamu memang luar biasa.

"Lama banget sih. Aku sampai dua kali bolak-balik wc kedinginan di bawah ac ini."

"As always, Gilang. Lebay." Akbar tertawa mendengar candaan garingku, "Kenalin, Lang. Garnis. Garnis ini Gilang."

Aku menyambut tangan Garnis, kami bersalaman. Akbar memang hebat, track record yang luar biasa. Senyum yang meluluhkan. Kalau saja aku yang kenal duluan dengan Garnis. Aku.. Ah, sudahlah. "Yuk, masuk beli tiket."

Aku, Akbar, dan Garnis masuk untuk masuk dalam antrian yang cukup panjang. Kami akan menonton film ini pada pukul setengah 4 sore. Sedangkan ini masih jam 3, cukup sambil menunggu teman kami yang lain yang juga ikut nonton.

"Mba, beli tiket untuk tujuh orang ya." Aku berbicara pada penjaga tiket.

"Mau duduk dimana, mas?"

"Di sini saja, di tengah." Aku menunjuk ke arah tempat duduk yang kosong di bagian tengah. Cukup untuk tujuh orang duduk berderetan, "Gimana, Bar?"

"Ngikut aja."

"Sip, gitu aja mba."

"Oke. Semuanya 245 ribu ya."

Aku memberikan uang sebanyak 250 ribu kepada penjaga tiket itu, aku menolak Akbar menambahi uang dari dompetnya. Aku mengaku sehabis mengambil uang di atm. Tujuh buah tiket sudah ditangan kami. Aku memberikan dua tiket untuk Garnis dan Akbar. Sedangkan sisa tiketnya aku pegang, sambil menunggu empat teman kami lainnya.




Sekejap, ada dua buah tangan yang tiba-tiba menutup mataku. Aku kaget, tapi aku bisa kembali tenang, karena kedua tangan itu adalah tangan wanita. Lembut dan beraroma, "Tebak, Lang. Itu siapa?"

"Anya?"

"Kok kamu tahu sih?" Anya melepas tangannya dari kedua mataku, "Kamu gak seru ah, Lang."

Aku hanya tertawa melihat kelakuan Anya, dia tetap tidak berubah, "Salah sendiri parfum gak pernah ganti-ganti."

"Iya juga ya. Oya ini kenalin. Ghulam ini Gilang, Gilang ini Ghulam." Anya mengenalkan laki-laki yang ada di sampingnya, bersamanya. 

"Salam kenal ya." Aku menyambut tangan Ghulam. Sepertinya dia lebih tua satu tahun daripada Anya dan aku. Aku pernah melihat dia, dia kakak kelas kami. Akbar juga menyambut sapaan dari Ghulam, begitu berikutnya, Garnis juga berkenalan dengan Ghulam dan Anya.

"Oya, itu Ajeng juga sudah datang, Lang. Bar." Anya menunjuk ke arah belakang, dekat pintu masuk bioskop.

"Halo, semua!" Ajeng melambaikan tangannya dari kejauhan. Ah, aku tahu siapa yang ada di sebelahnya. Ternyata Gallant yang menjadi pacar Ajeng sekarang. Dia adalah adik kelas kami. Adik kelas yang paling cemerlang, dia yang menjadi inisiator beberapa ekskul baru di sekolah, seperti ekskul band, dan flag football. Benar-benar seorang laki-laki yang perfect. Good looking dan juga smart.

"Yuk karena, sudah datang semua. Ayo masuk." Aku mengajak Akbar, Garnis, Anya, Ghulam, Ajeng, dan Galant untuk masuk ke dalam ruangan. Kami siap untuk menikmati cerita picisan yang lainnya.

Aku menjadi yang terakhir yang masuk dalam ruangan itu, bersiap menikmati kisah lain yang akan ditayangkan. Aku tersenyum puas.

Selesai

0 Komentar:

Post a Comment