Monday, June 17, 2013

Sore di Sekolah (Part 2)

"Double date yok. Kan asik tuh kita pasang-pasangan jalan bareng gitu." Akbar terlihat senang.

"Boleh. Tapi sudah jelas belum. Kamu bilang kan, dia mau sama kamu. Mau apa dulu? Mau minjemin catatan? Mau jalan bareng? Atau mau mijetin?" Aku masih ketus. Suasana hatiku lagi jelek. Ini semua gara-gara Anya sedang marah tanpa ada alasan. Biasa sih. Tapi tetap saja aku malas menanggapinya.

"Mau jadi pacar aku dong."

"Yakin? Dia ada ngomong gitu kah?"

"..."

"Sudahlah, kamu pastikan dulu dia mau apa sama kamu. Ntar dia cuma mau mukulin kamu. Sama aja." Aku menuju parkiran. Aku mau pulang, lalu tidur. Capek.

"Yah, Lang. Kamu kok gitu-gitu amat sih."

Aku meninggalkan Akbar yang sedang dilanda ketidakpastian, ambigu. Aku menaiki motor, memakai helm. Aku pulang, dengan perasaan yang aku tidak peduli. Aku tidak tahu kenapa seharian Anya seperti itu. Cemburu kah? Ah, tidak. Aku tidak pernah macam-macam. Aku walaupun punya banyak mantan, aku pantang untuk selingkuh. Perbuatan apa itu? Tidak jantan. Kalau sudah tidak nyaman, sudah tidak suka, ya putus. Jelas.


Jadi apa yang dirasakan Anya? Ah, aku memang tidak peka.

***

"Kamu kenapa kemaren marah-marah? Aku ajak berangkat bareng, gak mau. Aku ajak makan di kantin, gak mau. Aku nanya ada apa, kamu diam aja." Aku mengajak Anya berbicara, di depan kelasnya.

"Gak apa. Aku lagi malas ngomong sama kamu aja. Sudah ya, aku mau belajar. Ntar jam 9 ada ulangan matematika." Anya kemudian masuk ke dalam kelas. Aku ditinggalkan di depan pintu kelas. Aku masih memandang ke dalam kelas. Sepertinya, tidak ada respon lanjutan dari Anya. Ah, sungguh memalukan, banyak yang melihat keadaan ini. Aku menjadi seperti pelaku sinetron yang patut dikasihani, gara-gara marahan. So embarassing, so awkward.

Belum selesai aku menenangkan pikiran, Akbar mencekik leherku dengan lengannya, "Woy, marahan ya? Pantes kemaren gitu. Aku udah nanya Ajeng. Iya, dia mau jadi pacar aku. Fix kan?"

"Semoga gak cepet putus aja." Aku melepaskan lengannya dari leherku.

"Yah, kok gitu sih? Parah lah. Ayok jalan, setelah pulang sekolah. Gimana? Aku masih malu nih jalan berdua dia. Temenin ya?"

"..."

"Daripada kamu stress, mikirin Anya. Ntar kamu bunuh diri lagi. Kan gak lucu. Ayok, jalan aja."

"Oke. Mau jalan kemana?"

"Nonton bioskop dong, ada film baru tuh."

"Oke, aku titip tiket aja ya. Aku mau nyusul. Mau main bola dulu sebentar. Kemaren udah gak main bola, masa hari ini juga gak. Kan gak lucu." Aku menyindir Akbar, tapi entah dia mengerti apa tidak.

"Siplah. Jam 4 ya? Di bioskop langsung."

Akbar kemudian pergi meninggalkanku. Sepertinya menuju kelasnya Ajeng. Sepertinya aku tidak tahan dibuat seperti ini oleh Anya, apalagi Akbar sedang dalam keadaan yang baik, dapat pacar. Membuat aku jadi malas mengatasi masalahku dengan Anya. Ah, sebaiknya aku melupakannya sejenak. Aku harus fokus, benar kata Anya, nanti jam 9 ada ulangan matematika.

***

Cuaca mendung, angin semilir, cocok untuk bersantai ria dengan kasur. Tapi, apa daya, aku sudah berjanji dengan Akbar untuk menemaninya kencan pertamanya dengan Ajeng. Sebenarnya ini tidak penting, buat apa aku yang seperti ini, malah menemani dua insan yang sedang jatuh cinta ini jalan-jalan. Memalukan. Untung, Akbar adalah temanku, kalau bukan tidak akan pernah aku mengikuti seseorang yang sedang kencan dengan kekasihnya.

Aku seperti biasa, menuju parkiran untuk mengambil motor. Lagi-lagi tidak dengan bermain bola dulu, entahlah keadaan hati yang tidak menentu ini bisa mempengaruhi intensitas bermain bola. Aku tidak enak dengan Akbar, apabila aku bermain bola pasti nanti akan bau, dan juga telat datang ke bioskop. Ya sudah, aku akan berkorban untuk hari ini.

Beberapa saat kemudian, aku seperti melihat Anya dari kejauhan, tidak terlalu jelas soalnya dia berada di luar pagar sekolah. Sepertinya sedang menunggu orang tuanya menjemputnya. Tapi, yang kulihat bukan mobil orang tuanya yang datang menghampirinya setelah itu, tapi sebuah motor dengan laki-laki di atasnya. Masih berseragam sekolah, dan sama dengan kami. Seragam yang sama.

Tidak seperti sodara, tidak seperti ayah, tidak seperti kakak laki-laki. Siapakah laki-laki itu?


Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment