Tuesday, June 25, 2013

Memancing (Part Finale)

"Gimana rasanya bisa dapet ikan, Brian?" Ujar Om Jono kepadaku. Om Jono mendekatiku setelah aku berhasil melepaskan kail.

"Super banget, Om! Ah, aku merasa keren banget, Om. Pokoknya mantap. Aku sendiri gak nyangka bisa menangkap ikan sebesar ini. Ini pertama, dan langsung ikan besar! Wow!" 

"Sepertinya kamu senang sekali ya, Brian. Tapi itu tangkapan yang hebat!" Om Jono mengacungkan jempol kepadaku. "Sini, kamu pose, mau Om foto dulu."

Aku langsung berpose dengan ikan yang aku tangkap, aku tidak tahu apa nama ikan ini, yang jelas panjang ikan ini sekitar 30 cm. Aku memegang ikan ini dengan kedua tanganku. Kepala ikan di tangan kanan, buntut ikan di tangan kiri. Aku pun tersenyum sampai blitz kamera mengenaiku.

"Om, ini nama ikannya apa?"

"Oh, itu namanya ikan kembung."

"Oh." Aku terkejut, setahuku ikan kembung itu yang bisa membulat kalau ada musuh. Itu setahuku dari film kartun yang aku tonton selama ini. Tapi setelah kuingat-ingat ternyata itu namanya ikan gembung. Dan ini ikan kembung. Sungguh berbeda.

Aku lanjut untuk menyiapkan pancing rentakku dengan umpan-umpan lagi. Aku berharap, sore ini menjadi sore milikku. Aku akan menjadi juragan ikan kembung yang kaya. Aku sangat bersemangat, sampai-sampai aku lupa menaruh ikan kembungku yang baru kudapat ke dalam kotak penyimpanan ikan.

Tapi sampai pukul setengah 5 aku tidak mendapatkan apapun. Aku begitu terpukul. Ternyata aku mendapatkan ikan tersebut, adalah suatu kebetulan. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti memancing, aku pun berjalan-jalan di kapal. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan keadaan kapal. Aku mendatangi Ayah.

"Kamu lagi bosan, Nak?" Ayah bertanya padaku.

"Gak begitu, Yah. Tapi ada benarnya. Aku capek duduk terus nungguin ikan. Tapi gak ada satu pun ikan yang datang lagi padaku."

"Kamu harus banyak belajar. Lagipula ini kali pertama kalimu, bukan?"

"Iya." Aku menunduk lesu. Ternyata memancing itu memang tidak mudah.

"Kamu mau sesuatu yang seru gak?" Ayah dengan wajahnya yang tenang itu, sepertinya akan menawarkan sesuatu yang hebat lainnya.

"Apa yah?" Aku penasaran.

"Sebentar, Ayah mau ngambil sesuatu dulu." Ayah kemudian menaruh pancing rentaknya. Dan Ayah masuk ke dalam rumah kecil, tempat dimana tas kami dikumpulkan. Begitu keluar, Ayah membawa sesuatu di kantongnya. Kantongnya terlihat besar. Ayah menunjuk ke pinggiran kapal, "Coba kamu berdiri di situ." 

"Emang kenapa, Yah?"

"Lakukan saja. Begitu sampai di sana, fokus lihat batas antara laut dan langit." Ayah tersenyum.

Aku melakukan yang diperintahkan Ayah. Aku berdiri di pinggiran kapal, tentunya aku sambil berpegangan di pinggiran kapal tersebut. Aku melihat batas laut dan langit itu. Ini sungguh pemandangan yang luar biasa. Tidak ada daratan diantara laut dan langit. Laut dan langit bertemu membentuk garis lurus yang tidak ada batasnya. Aku melihat ujung paling kiri, ke ujung paling kanan, semuanya sama. Sebuah garis langit yang luar biasa. Cahaya sore berwarna oranye menghiasi garis langit ini. Aku juga melihat ada ikan yang berloncatan, jauh dari kapal ini. Mereka seperti anak-anak yang sedang bermain sore. Sama seperti manusia.




"Itu dinamakan garis cakrawala. Batas laut dengan langit. Kamu tidak akan bisa menemukan ini dari kota. Ini limited edition. Kamu termasuk anak jaman sekarang yang masih beruntung bisa melihat ini." Ayah menjelaskanku dari belakang. Tapi aku tetap fokus. Menikmati keindahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Jebyuur..

Aku kaget, aku tiba-tiba terlempar ke laut. Apakah gara-gara kapal tiba-tiba terkena ombak besar, sehingga aku bisa tercebur ke laut? Ah, ini semua gara-gara aku terlalu terpana dengan suasana ini. Aku tidak berpegangan kuat. Kini, aku panik. Aku berusaha tetap melayang, air laut sungguh sangat asin. Mataku sakit terkena air laut ini. Aku bisa berenang memang, tapi ini bukan kolam renang. Ini laut! Tapi, aku ingat perkataan guru renangku, pertama yang kamu lakukan ketika berada di air adalah tetap tenang. Aku berusaha tenang dengan menarik napas, kemudian menahannya. Sambil aku mencari posisi yang tenang. Agar aku tetap melayang.

"Ayaaaah. Aku tenggelam." Aku berteriak, dan melihat ke arah kapal yang masih tetap tegap berdiri di atas air. Tapi apa yang kudapat. Orang-orang dewasa tersebut, tertawa melihatku.

"Tenanglah, Nak. Jangan panik. Kamu kan sudah bisa berenang, bukan lelaki namanya kalo kamu panik begitu." Ayahlah yang telah mendorongku ke laut ini. Kenapa?

"Tapi kan, gak perlu ngedorong gitu dong." Aku memprotes Ayahku, sambil tetap menggoyang-goyangkan kaki dan tanganku untuk tetap melayang. Air laut yang asin ini membuatku sedikit panik. Tapi entah kenapa memang aku lebih mudah melayang di air laut, dibanding di kolam renang.

"Ini gunakan." Ayah melempar sesuatu ke arahku, yang diambil dari kantongnya. "Cepat diambil, jangan sampai tenggelam.

Aku kemudian berenang mendekati tempat terjatuhnya barang itu. Untung saja aku cepat dalam berenang, jadi barang itu tidak sempat tenggelam. Ternyata, barang yang dilempar itu adalah kacamata renang. Ah, terima kasih Ayah. Tapi sepertinya mendorongku ke laut adalah ide yang sudah dipikirkan oleh Ayah. Seperti halnya Ayah mempersiapkan kacamata renang ini.

"Coba kamu pakai, lalu lihatlah ke dalam lautan." Perintah Ayah.

Aku mengikuti perintah Ayah, memakai kacamata renang tersebut. Ah, aku memang bisa tenang kalau ada kacamata renang ini. Ntah, dengan bisa melihat apa yang ada di dalam air, aku bisa berenang dengan tenang. Ah, aku bisa melihat isi dalam laut! Walaupun terlihat makin menyeramkan, sepertinya aku harus menarik kata-kataku kalau aku bisa tenang kalau bisa lihat apa yang di dalam air. Memang menyeramkan, tapi ini sungguh luar biasa!

Aku melihat ikan-ikan kecil di dalam laut, mereka bergerak di air dengan bebas. Menurutku mereka seperti menari, seperti anak-anak kecil sedang berada di kelas balet. Aku juga melihat langit, tapi dari dalam air laut, ah, sungguh luar biasa. Langit oranye, cenderung gelap sedikit membias di permukaan air, ini perpaduan yang luar biasa! Aku melihat ada beberapa ikan yang aku tidak tahu, tapi entah lah mereka tetap luar biasa berada di alamnya.


Hanya satu, sisi menyeramkan dari air laut ini. Air laut terlalu dalam, dan gelap. Aku hanya bisa menikmati bagian permukaan sedikit kebawah, untuk yang lebih dalam? Tidak, semua serba gelap. Apalagi di langit sore seperti ini. Ini yang membuatku takut, setelah melihat pemandangan yang luar biasa ini. Aku kembali ke permukaan.

"Bagaimana?" Ayahku berbicara padaku dari atas kapal.

"Laut dalam itu serem ya, Yah? Tapi di bagian atas itu menakjubkan. Cahaya matahari menambah keindahan dalam laut."

"Bayangkan nak, kamu berada di laut dalam seperti ini, dengan keadaan terang benderang. Seperti di akuarium yang super besar. Kamu akan merasakan yang lebih luar biasa. Memang itu hanya khayalan, tapi dengan khayalan seperti itu, kamu bisa lebih berteman dengan laut ini." Ayah lagi-lagi tersenyum setiap menjelaskan sesuatu kepadaku.

Aku mengikuti perintah ayah. Kali ini, aku pasrahkan badanku melayang di atas permukaan, dengan wajahku menghadap bawah lautan. Gelap. Tidak kelihatan apa-apa. Tapi aku mulai berkhayal, andaikan cahaya matahari bisa masuk, dan menerangi semua yang ada di sini. Perlahan laut bawah yang gelap itu menjadi terang, sekarang aku bisa melihat gunung laut, palung, batu-batuan laut, bermacam-macam ikan, cumi-cumi,  penyu laut, segerombolan ubur-ubur, dan bahkan paus biru yang besar aku bisa melihat dengan jelas. Ini luar biasa. Tapi ada juga yang menyeramkan, seperti ada hiu yang sedang mengejar mangsa, paus pembunuh yang sedang mencari mangsa.

Aku kembali menghirup udara, kembali ke permukaan. Sepertinya Ayah sudah siap untuk mengangkatku kembali ke kapal.

"Sudah?"

"Sudah, Yah." Aku menjawab dengan senyuman terbaikku. Ayah terlihat bahagia, sepertinya melihat anaknya bisa menikmati perjalanan yang belum pernah anaknya temui. Ayah menurunkan tangga tali, aku menaiki tangga tersebut untuk bisa naik kembali ke kapal. Paman Rano memberikan handuk kepadaku, bajuku pun sudah persiapkan Ayah. Aku berganti pakaian di dalam rumah kecil tersebut.

Ini benar-benar pelajaran yang luar biasa. Aku tidak akan melupakan ini. Ini keren! Aku tersenyum sendiri, ini memang luar biasa.

"Brian!" Pakdhe Nono memanggilku. Aku lari keluar dari rumah kecil itu. Mendatangi buritan kapal, semua orang berkumpul di sini.

"Ada apa, Pakdhe?"

"Kita dapat ikan pari!"




Ikan pari? Bukan kah itu ikan yang luar biasa besar? Yang punya sayap, dan jarum beracun di badannya? Wow, ini keren dan mengerikan! Aku langsung menuju pinggiran kapal untuk bisa melihat langsung prosesi penangkapan ikan ini. Ternyata ikan pari memakan umpan yang disediakan Om Jono. Sekarang Ayah, Paman Rano, dan Pakdhe Nono  beserta nelayan-nelayan yang ada membantu proses menangkap ikan pari ini.

Semua orang dewasa, bergotong royong untuk menangkap ikan ini. Aku tidak mengerti, yang aku tahu ikan pari ini sangat berbahaya. Racunnya mematikan! Tapi entah kenapa orang-orang dewasa ini tidak terlihat takut, bahkan bersemangat. Ah, aku ingat, ini adalah sensasi memancing. Semakin yang kamu pancing berbahaya, semakin mendidih darahmu untuk mengangkatnya ke kapal.

Setelah setengah jam, akhirnya ikan pari bisa tertangkap. Ketika ikan itu terbawa mendekat dengan kapal, nelayan yang sudah terbiasa dengan hal ini langsung menombak ikan tersebut, hingga tidak bergerak. Dan nelayan sisanya kemudian juga ikut terjun ke laut untuk menangkap ikan tersebut dengan jaring. Setelah jaring, ikan pari diangkat menggunakan jaring yang sudah diikat tali di atas kapal.

Ikan pari digeletakkan di geladak buritan kapal. Racun yang dibawah buntutnya sudah dihilangkan oleh nelayan. Aku kasihan, ikan pari ini termasuk hewan yang mulai berkurang keberadaannya. Tapi aku masih kecil, tidak bisa melakukan apa-apa. Aku cuma bisa melihat hewan ini mati di kapal ini. Ah, hari sudah gelap, wajar karena sekarang sudah pukul setengah 6. ini waktunya pulang. Sangat luar biasa penangkapan ikan pari ini sebagai ending perjalanan yang keren ini.

"Mau foto gak?" Tanya Ayah tiba-tiba.

"Gak, Yah. Badan ikan pari itu lebih besar daripada badanku yang sudah SMP ini."

Ayah, Paman Rano, Om Jono, dan Pakdhe Nono tertawa mendengar jawabanku. Saatnya kita pulang. Gelap mulai datang.

0 Komentar:

Post a Comment