Wednesday, June 19, 2013

Sore di Sekolah (Part 4)

Mencium aroma pagi buatku adalah hal yang jarang aku dapat. Kenapa? Seperti biasa, lelaki macam aku ini, lebih tertarik bangun di waktu yang dekat dengan bel masuk. Lebih memacu adrenalin pikirku. Tapi entah kenapa, aku pagi ini bisa sudah berada di depan rumah. Menghirup udara segar, sambil memikirkan masa depan. Hanya saja, aku ternyata lebih suka memikirkan apa yang sudah Ajeng bicarakan denganku, kemarin. Ajeng dan Akbar, terkadang cinta itu abu-abu. Susah dibaca. Ketika jadianpun belum tentu dari kedua belah pihak, memang sehati untuk membuat status ini. Kondisi, keadaan, menjadi faktor lain dari terjalinnya hubungan ini. 

Ajeng, sepertinya dia masih merasakan hal yang membuatnya tidak nyaman dengan Akbar. Lebih tepatnya, mantannya masih membekas erat di hatinya. Mungkin, jangka waktu antara putusnya Ajeng dengan mantannya terlalu dekat dengan waktu jadian dengan Akbar. Lagi-lagi kebaikan seorang Akbar, membunuh dirinya sendiri.

"Gilang, daripada bengong aja di situ. Sana gih, nyapu jalan." Ibu meneriakiku dari dalam rumah. 

"Mama, tahu aja lagi bengong gini." Aku tertawa sendiri.

***

"Woy! Oper! Kosong di depan!" Aku berteriak kepada temanku yang menjadi pemain tengah. Dalam seketika, bola sudah berada di kakiku. Dengan sedikit tipuan, aku menerobos pemain belakang lawan. Mencari celah kosong, untuk melepaskan tendangan. Tendangan keras ala Gilang.

"Gooool!!!"

Aku melakukan selebrasi yang tidak berlebihan. Cukup berdiri tegap, dan diam. Membiarkan yang lain mengelilingku. Itu sudah cukup keren menurutku. Tanpa sadar, tepuk tangan berkumandang seketika, setelah melihat aksiku. Ah, sensasi ini. Memang luar biasa.

"Lang, itu ada Anya. Nungguin kamu kayaknya." Doni memberitahuku, dengan berbisik. Setelah memberitahuku dia kembali ke posisi awalnya. Pemain belakang.

Aku kemudian menoleh ke arah penonton. Benar. Anya sedang berdiri. Sepertinya dia memang menungguku. Dari caranya berdiri, melipat tangannya, dan menatapku tajam. Aku terpaksa meninggalkan permainan bola ini, sebagai lelaki yang jantan. Aku harus berani menghadapi situasi yang seperti ini.

"Kamu dari mana aja?" Aku bertanya duluan kepada Anya. Tapi bukannya dijawab oleh Anya, aku kemudian ditarik menuju parkiran. Sepertinya Anya ingin membicarakan hal yang lebih privasi.

"Aku lihat. Kamu kemarin sama Ajeng kan beberapa hari yang lalu? Sampai sore. Maksudnya apa?"

"Gak ada maksud apa-apa. Gak penting tahu, Nya." Aku kaget, Anya sepertinya melihat aku berbicara dengan Ajeng kemarin sore sampai malam.

"Gak usah bohong!"

"Kamu sendiri, selama ini kamu kemana? Jalan sama lelaki bermotor itu? Ngaca dulu deh, baru nuduh-nuduh." Aku malas menanggapi hal yang seperti ini. Aku pergi meninggalkan Anya. 

"Gilang!"

Aku tetap berjalan ke dalam sekolah. Pura-pura tidak mendengar panggilan Anya. Aku muak. 

***

"Lang, Ajeng sudah 2 hari ini tidak menggubrisku. Aku sedih." Akbar sepertinya masih kaget, maklum baru merasakan permasalahan dalam suatu hubungan. Tapi agak sedikit berlebihan.

"Udah kamu sms? Telpon? Datengin langsung?"

"Sudah semua, Lang." Tampang Akbar semakin kasihan. Aku tak tega melihatnya seperti ini. Yang jelas  yang seharusnya salah memang Ajeng. Dia tidak siap sebenarnya untuk memulai suatu hubungan lagi, tapi kenapa mengambil resiko dalam hubungannya dengan Akbar. Apakah karena kebaikan hati Akbar? Bar, sepertinya kebaikan hatimu selalu membawa petaka. Kamu seharusnya berprilaku seperti aku.

"Yaudah. Santai. Yok, makan bakso aja. Aku lapar."

"Yang kudengar Ajeng berbicara denganmu beberapa hari yang lalu. Apakah itu benar, Lang? Apa yang kalian bicarakan.

Duh! Skakmat. Ini pasti gara-gara Anya. Dasar wanita itu! "Kebetulan aja, Bar, ketemu dia. Dia nyari catatan, aku kan abis tiduran di UKS. Biasa baru bangun jam segitu. Kebetulan bertemu. Kita ngobrol deh."

Akbar terdiam. Aku tahu ini akan menyebar kemana-mana. Aku kemudian berdiri, membenarkan otot-ototku setelah sekian lama duduk. "Kamu gak perlu cemburu. Kamu juga sudah tahu harusnya gimana sama Ajeng. Aku gak mau ikut campur lebih jauh. Yang jelas, aku tahu kamu. Kamu pasti bisa menyelesaikan masalah ini."

Akupun pergi meninggalkan Akbar yang masih terduduk, di parkiran yang sepi ini.


Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment