Friday, June 21, 2013

Sore di Sekolah (Part 6)

"Makan sendirian aja ya? Kasihan." Ajeng menepuk pundakku dari belakang. Aku sedang makan di kantin, sendirian. Entah, Akbar sekarang lebih sering menyendiri, dan terkesan menjauhiku. Padahal bukan gara-gara aku dia putus dengan Ajeng.

"Magyahum temyengyim." Aku berbicara dengan mulut yang penuh. Maksudku adalah 'Makanya temenin." Tapi sepertinya Ajeng mengerti apa kataku. Ajeng yang datang bersama dengan beberapa temannya ke kantin, meninggalkan temannya itu, untuk menemaniku. Sepertinya dia kasihan denganku.

Ajeng cukup menarik dalam bercerita. Lagi-lagi pantas, Akbar sangat begitu fokus ketika sedang berbicara dengan Ajeng. Dia menarik, cukup bisa diajak bicara yang tidak biasa-seperti hal yang sering dibicarakan laki-laki- dan yang lebih menarik, cara dia berpakaian itu tidak berlebihan seperti halnya dengan para primadona lainnya yang ada di sekolah ini. Sederhana dan supel.

"Kamu masih kontak-kontakan dengan Akbar?" Tanyaku penasaran. Kali ini dengan mulut yang tidak penuh bakso.

"Iya, masih. Tapi entah kenapa Akbar berubah. Dia tidak seperti yang dulu. Aku hanya butuh waktu, dan sepertinya dia tidak bisa menerima keadaan itu. Aku masih memiliki rasa yang sama, sebelum ini. Tapi, entahlah." Ajeng menghabiskan susu yang dia pesan, dengan raut wajah yang menyesal. Tapi aku tidak tahu apa arti penyeselan yang dirasakan Ajeng. Terlalu kabur.

"Aku duluan ya. Aku mau ulangan habis istirahat ini. Gak boleh telat." Aku berdiri, meninggalkan Ajeng.

"Boleh kok balik ke kelas. Tapi bayar dulu dong. Tuh ibu kantin ngeliatin kamu." Ajeng tertawa kecil.

Aku menepuk jidatku. 

***

Kami berempat memang tidak satu kelas. Tapi ketika masalah-masalah belum berdatangan, kami tidak pernah absen untuk menyapa, seharipun. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan keadaan ini, tapi karena  hati kami pernah satu frekuensi, aku tidak bisa diam saja membiarkan ini semua terjadi tanpa ada penyelesaian.

Aku seperti biasa, memenangkan permainan bola sore ini. Ini sudah biasa. Aku sudah biasa menerima banyak tepuk tangan dari penonton yang datang dari pemainnya sendiri. Iya, yang mengerti permainan cantik kami, hanya pemain yang melakukan permainan cantik. Kami sendiri. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku, handuk yang biasa kupakaipun tidak bisa digunakan untuk menyerap keringat lagi, terlalu banyak keringat.

Tiba-tiba, ada sebuah handuk yang terbang ke arahku. Aku kaget, dengan tangkas aku menangkis handuk yang terbang itu, sampai jatuh ke lantai, "Dih, kok gak ditangkep sih?"

"Loh! Kamu kok ada di sini? Tumben. Oya sekolah kan masih rame. Tapi tumben aja ada kamu." Aku mengambil handuk yang aku jatuhkan itu, "Maaf ya, maklum mantan atlit silat."

"Gak papa kok. Lagi pengen aja. Tuh handuk dicuci ya ntar. Aku gak ngasi loh, minjemin doang. Kasian ntar masuk angin."

"Ah, tumben. Tapi makasih ya." Aku tertawa. Aku mulai menyeka wajahku dengan handuk itu. Handuk yang harum, entah memang perasaanku saja atau bagaimana, semua barang milik perempuan itu punya bau yang berbeda. 

Ajeng ikut tertawa denganku. Sedangkan, teman-teman yang lain masih berada di lapangan bersiap untuk pulang, juga ikut menggodaku, "Cie, cie, cie."

Aku yang sudah terbiasa dengan keadaan ini, memilih untuk tetap tenang. Semua yang menggodaku akan semakin senang kalau aku menanggapinya dengan serius, "Kamu gak pulang?"

"Oya, pulang kok ini. Ntar lagi dijemput orang tua."

"Oya kamu habis les ya. Oke. Hati-hati ya." Aku pergi meninggalkan Ajeng. Dan Ajeng pergi ke arah yang berbeda denganku.

***

Belum sampai aku di parkiran. Aku melihat Akbar berdiri dekat lorong menuju parkiran. Wajar sebenarnya ada Akbar di jam seperti ini. Dia biasa melihat pertandingan, bahkan ikut dalam pertandingan. Tapi keadaannya yang seperti ini membuat aku sedikit tidak percaya dia ada sore ini.

"Lang, kamu suka sama Ajeng?" Akbar melihatku tajam. Aku tahu dia sekarang sedang serius, tidak cocok untuk kuajak bercanda.

"Enggak kok. Kebetulan saja."

"Kebetulan gak akan seperti itu. Kebetulan hanya sesekali." Sepertinya Akbar menaruh curiga kepadaku. Aku memang terbiasa dicemburui seperti ini. Tapi kalau dengan Akbar, aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya diam. Berjalan pelan ke arahnya.

Pukulan keras, meluncur ke arah hidungku. Dari tangan Akbar. 

Aku tersungkur seketika, tas yang kubawa semuanya terjatuh. Aku terdiam sejenak. Apa yang sedang terjadi? Cairan keluar dari hidungku, tapi aku masih tidak sadar cairan itu berwarna apa. Aku mengerang kesakitan. Aku melihat ke depanku, melihat Akbar. Tapi dia sudah tidak ada di depan. Teman-teman yang tadi ada di lapangan sebagian, mendatangiku. Kebetulan ada yang melihat kejadian ini.

Akbar, ada apa?


Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment