Thursday, June 20, 2013

Sore di Sekolah (Part 5)

"Galau ya? Kayak bukan kamu." Ajeng melihatku sedang bermain bola sendirian, di hari minggu sore. Sekolah sepi, hanya ada aku dan dia. Ajeng memakai baju berwarna merah, dengan tas punggung yang biasa dia pakai. Dia seperti anak muda yang sedang siap piknik, lengkap dengan topi.

"Apalagi kamu. Ya, kan? Kasihan Akbar, sudah tiga hari gak masuk sekolah." Aku kaget, ada Ajeng di sekolah. Tapi, aku tetap memainkan bola.

"Iya, aku baru dari rumahnya. Aku baru menjenguknya."

"Lalu? Bagaimana dengan dia?" Aku berhenti memainkan bola.

"Oper dong bolanya."

Sepertinya dia tidak ingin membahas hubungannya dengan Akbar, jelas ini adalah kabar buruk buat Akbar. Aku tidak akan memaksa dia untuk cerita, biasanya sih dengan sedikit "pancingan" aku akan bisa mendapatkan ceritanya. Aku menendang bola ke arahnya. Bola kutendang pelan, namun bola tersebut aku buat melayang, sehingga tepat menuju tangannya. Dia berhasil menangkap bola itu. Aku mengacungkan jempolku ke Ajeng. 

"Kenapa ya, hanya gara-gara bola seperti ini. Bisa membuat laki-laki sepertimu bisa lupa waktu, bisa berantem, bisa berebutan. Aneh banget. Padahal ya bola ini gitu-gitu aja." Ajeng tidak memiliki kemampuan membuat analogi yang bagus. Tapi aku mengerti apa maksudnya.

"Kenapa ya, padahal wania itu di dunia ini jelas lebih banyak daripada lelaki, tapi masih aja ada banyak rebutan wanita. Kenapa laki-laki takut kehilangan? Padahal banyak gantinya." Aku bermaksud menyindirnya, dengan menggunakan frasa yang sama yang dia katakan.

Ajeng melempar bolanya kepadaku, aku yang tidak siap, hanya bisa menangkap bola itu menggunakan kepalaku. Cukup kencang, dan lumayan sakit. Tepat mengenai jidatku. Tak lama, Ajeng tertawa melihatku kesakitan. Akupun membalasnya dengan melemparnya dengan bola plastik itu, tapi belum kulempar dia sudah melarikan diri. Melihat seorang wanita lari seperti itu, lelaki mana yang tidak ingin mengejarnya? Ini seperti masa kecil.

Aku dan Ajeng bermain bola plastik, saling mengoper bola, dan juga bermain tendangan penalty. Tidak terasa hari mulai gelap, "Ngomong-ngomong, kamu ngapain sore-sore gini ke sekolah?" Aku penasaran dengan kelakuan Ajeng sore ini.

"Tidak apa, aku biasa ke sekolah sore-sore begini. Aku suka aja suasana sekolah yang sepi seperti sekarang ini."

"Aneh." Aku memasang raut muka yang memperlihatkan ketidakpercayaan.

"Kamu gimana dengan Anya?"

"Gak tahu, dia gak ada hubungin aku lagi. Aku anggap kita putus. Aku sih gak masalah, masih banyak wanita lain."

"Banyak, tapi hanya sedikit yang bisa kamu seriusi."

"Gak juga. Kalau aku siapa aja bisa aku seriusi. Tinggal aku yang mau atau tidak."

"Pede banget sih." Ajeng melemparku lagi dengan bola plastik yang dia pegang, "Ah, sudah gelap. Aku mau pulang dulu ya."

"Mau kuantar kah?"

"Tapi traktir kebab dulu ya."

"Loh aku yang nganter, kenapa aku yang harus nraktir?"

"Karena nganter aku itu adalah hal yang lebih dari kebab." Ajeng tertawa kecil.

Sore itu menjadi terasa sangat singkat. Tidak kuperkirakan, Ajeng memang punya pesona yang lain dari wanita lain. Wajar kalau Akbar dimabuk cinta olehnya.

***

Akbar dan Ajeng sudah putus. Aku tidak begitu mengerti latar belakang alasan mereka putus, aku tidak ingin bertanya kepada Akbar, maupun Ajeng. Cukup mereka saja yang mengerti permasalahan mereka. Ini bukan urusanku. Yang jadi masalah, adalah Akbar yang sangat berubah pasca putus dengan Ajeng. Memang hubungan mereka berumur pendek, tapi sepertinya berbeda menurut Akbar. Hubungan yang pendek itu memiliki arti yang mendalam bagi dia. Itu terlihat dari keadaan dia sekarang. Dia yang ceria dan pesimistis, menjadi suram dan pesimistis.

Sedangkan, bagaimana denganku dan Anya? Tak usah dipikirkan, hubunganku itu tidak jauh berbeda dengan hubungan lainnya. Wanita cantik mana yang belum aku pernah berhubungan denganku di sekolah ini. Tidak ada.

"Woy, ngelamun terus. Ayo dong main bola. Sekarang yuk, kurang orang nih." Aku menepuk pundak Akbar yang sedang melamun di bawah pohon depan kelas.

"Lagi malas, Lang. Ntar yang ada aku bikin kalah."

Aku tidak tahu bagaimana lagi membuat hati Akbar menjadi lebih tenang. Akbar sudah terlalu merasa terikat dengan Ajeng. Padahal Ajeng sama sekali tidak merasakan hal yang sama dengan Akbar. Aku bingung. Ini seharusnya tidak perlu terjadi, Akbar terlalu berlebihan menanggapi hal ini.

Ah, hari ini terasa panjang sekali.

Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment