Thursday, June 13, 2013

Istirahat

“Gimana, Den? Kita masih dikejar?” Ari bertanya padaku.

“Sssst! Bisa pelan gak Dngomongnya? Aku juga gak tahu, yang jelas kita sudah cukup jauh berlarinya.” Aku menutup mulut Ari dengan tanganku. Dia berada tepat di belakangku, dan kami berada di balik tembok sebuah kawasan bekas rumah sakit. Mengintip keadaan. Apakah kami berada di tempat yang aman atau tidak, karena kami sedang dikejar.

Aku yang masih berada di balik tembok itu, kehabisan napas. Entah apa yang membuatku dan Ari berlari menuju bekas rumah sakit ini. Yang jelas bekas rumah sakit ini adalah tempat yang tepat dari kejaran polisi. Iya, kami sedang dikejar oleh polisi. Sepertinya, gerakan kami terlalu kasar hingga bisa seperti ini.

“Sepertinya, untuk saat ini kita selamat, Ri. Gak ada suara mereka.”

“Aaah. Syukurlah. Aku sudah terlalu lemas. Untung saja, peluru tadi tidak mengenaiku. Tipis.” Ari duduk meluruskan kakinya, setelah beberapa jam lalu hanya berlari.

Dua polisi tadi memang tidak karuan. Mereka menembaki kami dengan brutal. Padahal aku pun belum sempat melakukan transaksi dengan Ari. Jadi? Apa alasan kuat mereka. Ah, sudahlah. Kami juga salah, kenapa kami harus lari. Namanya juga insting penjahat.

Aku berdiri, untuk melihat keadaan di balik tembok lagi. Melihat keadaan sekitar, dan benar, kedua polisi itu sudah sampai di tempat ini. Aku harus memberitahukan Ari, kami harus kabur. “Ri, ayok, berdiri. Kita harus pergi dari sini.”

“Ah, sialan polisi itu!”

Aku berlari di depan, menuju ruangan yang tertutup dahan yang merayap di dinding rumah tersebut. Ari mengikuti dari belakang, sepertinya tenaga dia sudah habis. Dia tidak secepat tadi. Aku menyingkirkan dahan yang menutupi pintu ruangan itu, dan Ari pun masuk kedalam. Ari kemudian langsung menahan pintu tersebut dengan lemari yang ada di dekat pintu itu.

Aku kemudian langsung menuju jendela yang bisa melihat keadaan luar. Polisi itu berpencar, satu ke arah ruangan ini, sedangkan yang lainnya sepertinya mencari ke daerah belakang rumah sakit. Aku langsung merunduk karena polisi itu menuju jendela ruangan ini. “Ri, merunduk!”

Ari mengikuti saranku. Sesaat kemudian. Terdengar suara dari luar ruangan ini, gawat, sepertinya polisi itu menemukan kami. “Hey, penjahat bodoh! Bagaimana mungkin dinding yang dipenuhi dahan tanaman ini, bisa terpotong di sisi pintunya? Menyerahlah kalian!”

Gawat!

Pintu itu kemudian didobrak oleh polisi, sekali memang tidak berhasil. Namun percobaan yang lima, lemari yang menahannya ikut terdorong, sehingga ada celah untuk masuk ke dalam ruangan. Sayang, polisi itu tidak melihat Aku maupun Ari di ruangan itu, kami sudah kabur melewati pintu yang lainnya, yang menghubungkan dengan taman tengah yang sudah gersang. “Woy!” Polisi itu mengejar kami.

Aku berlari sekencang mungkin, berlari menuju tangga ke lantai dua. Aku tidak sadar, ternyata Ari terpisah denganku. Aku tidak tahu dimana kita berpisah, mungkin di sekitar tangga, entahlah. Yang jelas, aku harus kabur sekarang. Di lantai dua ini banyak ruangan bekas tempat rawat inap, tapi sepertinya semuanya di kunci. Aku mencoba satu-satu untuk membuka kenop pintu itu, tidak ada yang terbuka. Ah, aku tidak suka suasana seperti ini. Ini seperti nonton film hantu! Aku mendengar derap sepatu polisi itu berada di tangga, semakin dekat! 

Tidak ada tempat bersembunyi lagi, selain di balik tembok di ujung koridor lantai dua ini. Ah, tamat sudah riwayatku. “Menyerahlah, Deni. Bukti sudah ada di tangan kami. Cepatlah menyerah, biar hukuman semakin ringan.”

Dasar Fano, baru jadi kepala polisi saja sudah sok! Tapi aku masih tidak ingin keluar dari tembok ini. “Memangnya kamu tahu apa, Fano?” Aku berteriak dari balik tembok itu. Tidak ada cara selain frontal untuk menghadapi situasi seperti ini.

“Kamu dan Ari sudah berkali-kali masuk dalam daftar orang incaran kepolisian. Kalian sudah membuat suatu sekte yang berbahaya bagi masyarakat. Kalian menggunakan narkoba jenis candu untuk memperkuat aliran sekte kalian. Kami sudah punya data-datanya, kawan. Ayolah menyerah. Aku tidak akan segan-segan walaupun kamu pernah menjadi temanku!” Fano berteriak keras. “Ayok keluar! Atau Ari akan kutembak sekarang!”

Apa? Ari tertangkap? Ah, anak itu! 

“Jangan keluar, Den!” Ari berteriak, walaupun tangannya sudah dalam borgol dan dijaga oleh Gara, partner dari Fano.

“Kamu lihat, kan? Ari sudah di tangan kami. Kamu mau apa sekarang? Dalam hitungan ketiga aku akan menembak kepalanya. Satu..” Fano mengancamku.

“…”

“Dua..”

Pistol Fano sudah di arahkan ke pilipis dari Ari. Aku mengintip dari jauh. Sepertinya aku harus keluar. Aku tidak tega untuk melhat pelipis Ari bolong gara-gara aku.

“Ti..”

“Oke! Cukup Fano! Aku menyerah!” Aku keluar dari balik tembok.

Dorrr!

Ari jatuh terkulai, darah segar keluar dari pelipisnya. “Kini, giliran kamu, Deni Swastika.”

Dorrr!

***


“Woy, masukan woy!” Raka memanggil aku, Ari, Fano, dan Gara, dari balik tangga. Sepertinya cerita Police and The Bandit harus diberhentikan sejenak. Mungkin lanjut besok, atau lusa. Tergantung mood. 

“Sakit tahu, Fan! Kamu melempar karet gelang itu terlalu dekat pelipisku. Nih, merah semua.” Keluh Ari pada Fano.

“Mau bagaimana lagi?” Fano berbalik, menuju kelas. 

Aku dan Gara hanya tertawa melihat Ari yang kesakitan seperti itu.

0 Komentar:

Post a Comment