Saturday, June 15, 2013

Dilematis

Satu, dua, empat, delapan orang berlari-larian. Mengejar bola. Dua orang sisanya tetap di posisinya di depan besi yang dibentuk persegi panjang yang dipasangkan jaring di sisi lainnya. Ketika bola itu masuk ke dalam persegi panjang itu. Berteriaklah separuh orang yang ada di lapangan itu. Sedangkan aku, juga ikut berlari-larian, tapi hanya di pinggir lapangan. Bertugas menjaga kedisplinan dari permainan ini. Iya, aku seorang wasit.

"Woy! Sit, Handball itu!" Pemain jersey merah bernomor 5 itu berteriak kepadaku. Aku tetap berusaha menjaga raut mukaku untuk tidak terlalu menanggapi protes dari pemain itu. Aku hanya menggelengkan kepalaku, tanda aku tidak melihat pelanggaran itu. Temannya, yang bernomor 2 juga ikut datang, protes kepadaku.

"Ah, wasit goblok!" Lengannya di ayun dari depan ke belakang, pemain jersey merah bernomor 2 itu. Aku tidak terlalu peduli. Sudah biasa.

Sudahlah, memang nasib menjadi wasit. Mau lembek, diprotes. Mau tegas, diprotes. Padahal ya pemain itu memang melakukan kesalahan dalam pertandingan. Tapi kebanyakan sih mereka ngelakuin itu secara tidak sadar. Iya, aku tahu kalau pemain itu punya hak untuk protes kalau wasit terlalu nyeleneh dalam memberikan hukuman. Tapi, ya setidaknya kalau wasit bertindak, harus dihormati. Jadi, aku sebagai wasit bisa ada semangat yang lebih dalam memberlakukan hukuman yang adil kalau ada pelanggaran.

Priiittt. Aku meniupkan peluit, terjadi pelanggaran di kotak yang dibuat di depan besi yang berbentuk persegi panjang itu. 

"Hey! Bersih itu, Sit! Gimana sih!" Kapten tim jersey merah bernomor punggung 20 itu berteriak, yang juga menjadi seorang penjaga besi yang persegi panjang atau bisa disebut sebagai gawang. Sebelum kapten tim itu mendatangiku lebih dekat. Ternyata yang aku tuduh sebagai pelanggar, sudah sampai di depanku. Kerahku ditarik olehnya, pemain dengan nomor 12. Diangkatnya aku olehnya, beberapa saat kemudian, sebelum orang-orang menahannya. Sebuah tinju mendarat di dagu sampingku.

"Woy!" Tim panitia yang di luar lapangan futsal teriak dari luar. Kemudian mereka masuk satu-persatu, mendatangi kerusuhan yang agak lumayan tersebut. Aku tersungkur seketika setelah menerima tinju itu. Seketika menjadi gelap. Ah, beginilah kehidupan menjadi wasit pertandingan. Pemain yang belum bisa profesional, selamanya tidak akan bisa menghargai sebuah permainan yang adil. Protespun harusnya memiliki etika. Tidak emosi yang berjalan. Tapi sudahlah, aku lagi-lagi merasa ini sudah biasa. Suara ribut-ribut itu semakin terdengar.


"Ki, sadar!" Samar-samar aku mendengar suara itu. Tapi, aku masih menikmati posisi ini. Memang tiduran seperti ini, sambil menikmati rasa sakit di dagu, malah itu yang membuat sakit tidak terlalu terasa. Suara itu seperti suara wanita. Tapi aku tidak peduli.

Aku mau tidur saja. Aku sedang bosan dengan kerusuhan seperti ini.

***

"Sepertinya Kiki sudah sadar." Aku mendengar suara wanita itu. Ah, aku ada dimana ini. Bau ini, sepertinya aku masih berada di lapangan futsal. Bau keringat. "Hey, kamu tidak kenapa-kenapa kan?"

"Aku tidak apa." Jawabku singkat. Aku kemudian bangkit dari posisi tidur. Ah, ternyata daguku masih sakit. Sepertinya agak bengkak sedikit. Di depanku ternyata ada Nana, pacarku yang sudah bersamaku dua tahun ini. Senangnya, aku masih ada yang ngerawat. Aku tersenyum kepada Nana. 

Sepertinya permainan dihentikan. Aku lihat para pemain yang mengikuti turnamen futsal ini sudah berbaris. Berbaris untuk acara penutupan, dan penyerahan piala. Entah, apakah ada yang menggantikan aku menjadi wasit, atau dihentikan seterusnya. 

Aku kemudian berdiri. Menggandeng tangan Nana, "Yuk, balik aja. Aku mau istirahat di kos aja."

"Terus ini mau gimana? Bayaranmu gimana?"

"Ah, tidak apa. Anggap aja aku bersedekah kepada panitia. Aku sedang malas saja."

"Oh, baiklah kalau begitu. Yuk. Eh ada warung makan soto kudus yang baru buka loh. Mau coba? Biar bengkakmu bisa hilang abis makan soto kudus kesukaanmu." Nana tersenyum lebar.

"Tidak relevan, Na. Tapi boleh juga. Satu syarat tapi. Aku dibonceng ya. Sakit nih." 

"Astaga. Ya sudah." Nana tertawa mendengar syaratku.

Setelah ini, aku sepertinya akan berhenti dari dunia perwasitan. Tapi aku berharap. Komunitas wasit tidak akan punah. Setidaknya tidak akan punah kalau memang pemain bisa bekerja sama, terutama para kapten tim. Panitia sepertinya masih sibuk dengan acara penutupan. Tidak memerhatikan aku dan Nana yang meninggalkan lapangan itu.

Peluitku. Aku lempar ke tempat sampah. Aku sudah sering seperti ini.

0 Komentar:

Post a Comment