Sunday, June 23, 2013

Memancing (Part 1)

Hueeeekkk.

Aku memuntahkan sarapanku ke dalam sebuah plastik hitam kecil yang memang sudah kupersiapkan di kantongku. Seketika, perutku merasa lega setelah memuntahkan isi perutku. Aku sepertinya dalam keadaan mabuk. Ayahku hanya tertawa melihatku mabuk seperti itu, sambil mengelus punggungku. "Baru satu jam saja di atas kapal sudah muntah, payah nih anak ayah."

"Yah, ombaknya gede banget. Kapalnya goyang parah. Ini lebih parah daripada naik bis kota. Selain itu, bau asap dari kapal ini juga membuatku sangat pusing dan mual." Aku kembali muntah, setelah menyanggah sindiran ayah. Ayah, Paman Rano, Om Jono, dan Pakdhe Nono tertawa ketika melihat mukaku yang lemas setelah beberapa kali muntah. Aku terkulai lemas di pinggir kapal. Ah, aku tidak suka mabuk laut.

Keluarga besarku sangat menyukai memancing, karena itulah hari minggu ini Ayah dan saudaranya menyewa kapal nelayan ini untuk pergi ke tengah laut demi menjalankan hobi yang sudah mereka kerjakan sejak muda.  Ayah sudah meluangkan waktu sejak lama untuk bisa menjalankan rencana ini. Aku yang penasaran, dan juga kebetulan diajak oleh Ayah, akupun juga ikut dalam pelayaran ini. Aku pikir, memancing dengan orang dewasa akan lebih seru daripada hanya menonton film kartun dari pagi hingga siang hari. 

Kami pergi ke dermaga kapal pada pukul 6 pagi, suasana pagi yang dingin menyambut kami, aku menikmati suasana pagi di tepi pantai seperti ini. Aroma laut, semilir angin, dan suara ombak, sungguh sangat menyegarkan.




Kapal nelayan ini cukup besar, ada sekitar 10 orang di dalam kapal ini. Aku, Ayah, Paman Rano, Om Jono, Pakdhe Nono, serta lima nelayan yang membantu untuk mengendarai kapal dan menemani kami dalam memancing. Kapal ini awalnya sangat tidak kupercaya bisa berlayar, karena memang cat kapal ini sudah banyak yang luntur, kapal ini jelas sudah lama berlayar di laut. Apalagi ketika awal perjalanan, kapal ini bergoyang cukup mengerikan. Aku hanya bisa berdoa komat-kamit sambil memegang pinggiran kapal. Untung saja kapal hanya bergoyang hebat di awal perjalanan. Di tengah kapal ini ada rumah kecil untuk menyimpan barang, dan juga tempat beristirahat. Sayang, rumah kecil ini hanya cukup untuk 3 orang di dalamnya. Kapal ini menggunakan mesin diesel untuk bergerak, karena itu juga yang membuatku mabuk lautku bertambah parah.

Kapal ini membutuhkan sekitar 3 jam untuk bisa sampai di titik memancing di tengah laut. Sembari menunggu kapal berhenti di titik memancing, kami sarapan bersama. Walaupun kami sudah sarapan di rumah sebelum pergi, kami harus makan lagi setelah 2 jam perjalanan, karena sengatan panas di tengah laut bisa membuat energi lebih cepat habis. Jadi kami tidak boleh dalam keadaan yang lapar. Apalagi aku yang habis memuntahkan seluruh isi perutku. Kami memakan bekal sarapan yang sudah kami bawa, Ayah juga membagikan sarapan kepada nelayan yang menemani kami. Kami makan bersama di geladak utama kapal. Ah, masakan Ibu memang paling enak.

Setelah kami menghabiskan makan, Ayah dan saudaranya mempersiapkan alat untuk memancing. Pakdhe Nono dan Om Jono menggunakan tongkat pancing dengan satu kail, sedangkan Ayah dan Paman Rano menggunakan tali pancing yang memiliki banyak kail, kemudian digulung menjadi sebuah gulungan. Biasanya ini dinamakan pancing rentak atau pancing ulur, karena terdiri dari banyak kail, sehingga sekali memancing bisa mendapatkan banyak ikan sekaligus. 

Setelah menyiapkan alat memancing, kemudian di setiap ujung tali pancing dipasang pemberat, sehingga ketika kail dilemparkan ke laut, bisa langsung tenggelam. Karena aku tidak bisa membantu dalam mempersiapkan alat pancing, karena memang dalam urusan mengikat tali pancingan juga membutuhkan skill tertentu. Aku tidak bisa tali-menali, aku menyesal tidak serius dalam mengikuti pramuka. Akhirnya aku hanya menyiapkan umpan untuk memancing, seperti cacing, udang, dan cumi-cumi. Aku memotong umpan cumi-cumi tersebut menjadi kecil-kecil, karena cumi-cumi terlalu besar untuk sekali memancing.

"Bisa gak tuh motong umpannya?" Om Jono melihatku yang sedang memotong cumi-cumi. Tapi sepertinya pertanyaan tersebut mengandung sindirian. Entah, mungkin karena aku memotong cumi-cumi ini tidak rapi, ada yang kebesaran, ada yang kekecilan.

"Bisa kok, Om. Nih, bahkan ada yang bentuknya kayak ikan teri." Aku sambil mengambil salah satu potongan cumi-cumi tersebut, dan memperlihatkannya kepada Om Jono.

"Ah, anak om yang masih 3 bulan saja bisa kalau cuma motong gitu."

Aku menggembungkan pipiku, tanda aku kesal dengan sindiran Om Jono. Om Jono hanya tertawa melihatku seperti itu.

Setelah 3 jam perjalanan akhirnya kapal kami mulai berhenti di titik tertentu. Aku tidak begitu tahu dimana kami berhenti ini, yang jelas sejauh mata memandang hanya ada lautan. Laut begitu tenang, ombakpun tidak terlalu besar, sangat berbeda di awal perjalanan. Tidak ada apa-apa, tidak ada daratan yang terlihat, dan jelas tidak ada sinyal. Untung saja panas belum begitu terik, karena ini masih jam 10 pagi. Suara mesin kapal yang dari tadi menemani kami, sekarang telah hilang. Kami berhenti total.

"Ayah, ayok mancing! Dimana alat pancing untukku?"

"Ini, nak. Tapi sebelum itu ayah ajarkan bagaimana cara memancing."

"Siap, ayah!"

"Jadi, kailnya kan ada banyak. Nah masing-masing kail diberi umpan. Terserah, mau udang, cacing, atau cumi." Ayah menjelaskan kepadaku sambil menunjukkan cara menaruh umpan pada kail. "Setelah diberi umpan, kamu tinggal menenggelamkan kail ini. Ketika sudah cukup dalam, dikira-kira saja, kamu tunggu sampai tali pancing yang kamu pegang ditarik. Ketika sudah merasa ditarik, kamu harus memberi hentakan pada talimu, agar ikan yang awalnya hanya terkena kail sedikit, bisa terkena lebih pasti oleh kailnya."

"Siap!"

Ayah tersenyum melihat aku berteriak mengerti, padahal aku sebenarnya belum begitu mengerti. Ah, tapi kalau tidak langsung dicoba aku tidak akan tahu bagaimana cara memancing.

***

Aku berkali-kali gagal menarik ikan, sedangkan Ayah, Pakdhe Nono, Om Jono, dan Paman Rano sudah mulai memamerkan hasil tangkapannya. Aku tidak begitu tahu apa nama ikan yang mereka tangkap. Yang jelas ikan itu cukup besar. Ayah dan Paman Rano yang menggunakan pancing rentak, lebih banyak mendapatkan ikan. Sedangkan aku? Aku sudah menggunakan pancing rentak, tapi belum satupun ikan yang kudapat. Aku hanya mendapatkan kailku kosong, umpan sudah dimakan oleh ikan, tanpa terjebak oleh kailku.

"Yah, kenapa aku masih belum dapat?"

"Sabar. Memancing itu memang butuh kesabaran yang lebih. Yang kamu butuhkan adalah feel menangkap ikan. Kamu tidak akan bisa menangkap ikan, kalau kamu tidak bisa menghayati proses memancing ini."

Aku tidak mengerti.


Bersambung..

0 Komentar:

Post a Comment