Tuesday, June 11, 2013

Kado

"Mama bilang, jangan suka main hujan loh." Aku berkata pada Ima, adikku.

Tapi anak itu tak menggubrisku. Yah, namanya juga anak umur 10 tahun. Mandi hujan memang menjadi hal yang menyenangkan bagi anak seusia dia. Aku tak kuasa menahannya. Kasihan, sudah di sekolah sering berantem masa di rumah dia main di rumah saja. Adikku yang tomboy itu memang luar biasa kerennya. Masa anak cowok yang memang biasa menjadi preman SD dia, dipukul di dagu? Ah, luar biasa memang.  Namanya juga karate sabuk hijau.

Sore ini, dibalik seramnya dia di sekolah, ternyata dia bisa menjadi manis seperti ini. Berlari-lari, tertawa sendiri, baju yang berwarna coklat terkena cipratan lumpurnya sendiri. Aku hanya memandangnya dari teras rumah, yang jelas tak mungkin kehujanan, kan ada atapnya. "Ayok kak, ikutan sini. Main sama Ima." Ima berlari ke arahku, kemudian mencoba menarik tanganku, mengajak untuk ikut bermain dengan hujan.

"Kakak lagi malas basah nih. Baru mandi tadi. Ntar gel yang kakak pakai bisa luntur. Kan jadi gak keren lagi." Aku tertawa kecil, menolak ajakan Ima.

"Ah, kakak jelek."

Ima melanjutkan menari-nari di bawah hujan. Ntah kenapa walaupun aku tak ikut menari bersama dia, tapi aku bisa merasakan kesenangan dia yang sedang menari itu. Hujan yang deras ini, memang menjadi syarat utama untuk diperbolehkan untuk mandi hujan. Kalian tahu? Kalau hanya gerimis, mama pasti akan menolak anaknya untuk mandi hujan, kalau deras baru anaknya diperbolehkan mandi hujan. Katanya, hujan yang rintik-rintik itu lebih berpeluang menjadi sakit kepala, dibanding hujan yang turun dengan deras. Aneh, tapi nyata.

***

Dari kejauhan aku bisa melihat satu anak kecil basah kehujanan, berpakaian berwarna hijau, yang sedang mengintip aku dan Ima dari balik pagar rumahku. Hanya itu yang bisa terlihat.

"Eh, Fafa. Main hujan juga? Ayok sini main sama-sama." Ajak Ima ke anak yang sedang mengintip itu, Fafa. Dia kaget ternyata kegiatan ngintip dia bisa ketahuan dan terlihat. Fafa kemudian menghilang di balik hujan. Sepertinya dia pulang.

"Teman Ima yang tadi?"

"Iya kak, dia pendiam. Gak ada temannya, jadi sering Ima ajak main. Jarot yang aku tinju, itu sering malak uang jajan Fafa. Tapi Fafa gak pernah balas, bahkan diam. Makanya aku tinju kak mukanya Jarot." Jawab Ima dengan semangat dan sumringah.

Aku hanya tertawa melihat adikku bercerita seperti itu.

***

Aku biasa menjemput Ima dari sekolahnya setiap siang. Aku menjemput menggunakan motor, tapi terkadang Ima mencoba menarik gas motor, dia penasaran bagaimana mengendarai motor. Aku merasa kalah, aku baru berani menyentuh gas motor itu ketika aku di SMP kelas 3. 

Setelah sampai di rumah, biasanya Ima langsung menuju kandang kelinci yang kami punya di samping rumah. Masih menggunakan baju seragam, dia sambil membawa wortel yang kami beli dari warung sayuran di perjalanan pulang. "Kelinci, gimana? Enak gak?" Ima memberikan wortelnya kepada dua kelinci itu.

Aku yang memasukkan motor ke dalam garasi, menyusul Ima di kandang kelinci. Tapi, aku melihat anak yang kemaren ketika hujan mengenakan baju berwarna hijau. Sekarang dia tak sembunyi. Dia membawa sebuah kotak kecil berpita merah di tangannya. Mirip dengan kado yang biasa ada. "Hmm. Apa hari ini ulang tahun Ima? Kok aku aja lupa." Aku berkata dalam hati.

"Ima, ada temenmu." Aku memanggil Ima yang sedang asik berbicara dengan kelinci itu.

"Siapa?"

"Itu siapa itu namanya yang suka dipalak? Ah, iya Fafa." Aku masih ingat yang dikatakan Ima kemarin.

"Oh ya?" Ima berlari menuju depan, mendatangi Fafa yang sedang berdiri. Sepertinya dia berkeringat cukup banyak. Keringat dingin kah? Ah masa iya anak kecil bisa grogi begitu.

Ima mendatangi Fafa yang sibuk menyeka keringat dari dahinya menggunakan punggung tangannya. Aku yang melihat dari jauh, tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang jelas sepertinya Fafa hendak memberikan kado kecil itu untuk Ima. Ah, Fafa begitu memberikan kado itu langsung lari dari Ima. Sepertinya malunya sudah di ubun-ubun. "Dasar anak kecil" Aku tertawa.

***

"Kak, tahu gak apa isinya?"

"Asik, coklat ya? Atau boneka? Atau mainan?" Aku menebak-nebak dengan senyum penuh makna.

"Salah!"

"Lah? Jadi apa dong? Sendal jepit ya?"

"Bukaaan!!!"

"Okee, jadi apa?"

"Topeng"

"Topeng?"

"Iya topeng yang biasa ada di pesta topeng di tipi-tipi kak. Fafa bilang, aku cocok pake ini. Soalnya aku kayak pahlawan bertopeng buat dia. Jadi aku keren gak kak pake ini?" Ima memakai topeng yang hanya menutupi bagian mata dan sedikit hidung, benar topeng ini biasanya dipakai ketika pesta topeng.

"Jadi dia menyuruhmu untuk menjadi pahlawan bertopeng seterusnya?" Aku takjub melihat hadiah itu.

"Iya. Dan aku terima tantangannya! Aku bakal jadi pemberantas kejahatan di sekolah! Yeah!" Ima kemudian kembali berlari menuju kandang kelinci sesaat, melempar sisa wortel di tangannya, kemudian masuk ke dalam rumah.

"Dasar." Aku hanya bisa geleng-geleng. Aku tak menyangka, ternyata adikku berbakat menjadi pahlawan.

0 Komentar:

Post a Comment