Friday, June 14, 2013

Kontribusi

“Dioda Esaki. Pertama kali ditemukan oleh Leo Esaki dari Jepang. Dioda ini memiliki karakteristik aneh. Apabila dengan dioda biasa grafik arus listrik akan terus bertambah, seiring dengan tegangan yang bertambah. Tapi, Dioda Esaki ini berbeda. Ketika grafik arus listrik seharusnya naik, dia akan mengalami gerakan meliuk-liuk ke atas-bawah sebelum dia kembali naik pada tegangan tertentu. Seperti anak muda yang bingung mencari jati diri, mencari kesana-kemari, mencoba ini-itu, dan akhirnya dia bisa menemukannya pada jangka waktu tertentu.” Pak Adi menjelaskan tentang dioda ajaib yang berhubungan dengan dunia kuantum kepada kami di kelas Nanoteknologi, “Keajaiban itu hanya ada di dunia mikro. Seperti yang kita tahu, di dunia makro tembok setipis apapun tidak akan bisa ditembus tanpa merusak tembok. Tapi tidak seperti itu di dunia mikro. Atom secara ajaib akan bisa melewati halangan yang ada dalam dioda. Apabila halangan itu sangat tipis, halangan akan meloloskan atom itu. Jelas tanpa merusak tembok tipis. Ini berlawanan dengan para ahli mekanik Newtonian. Karena menemukan ini dia mendapatkan Nobel Prize di bidang fisika pada tahun 1973.”

“Pak, Saya mau tanya!” Koko mengangkat tangannya dengan cepat, “Dioda ini untuk apa?”

“Nah, itu pertanyaan bagus. Jawabannya ada pada kalian.” Pak Adi menjawab dengan senyuman.

“Loh, kok?” Banyak tanda tanya muncul dari aku, dan juga teman-teman.

“Dioda ini belum ada gunanya secara spesifik. Yang jelas Leo Esaki hanya menemukan jenis dioda itu, menemukan karakteristik yang aneh itu, dan mendapatkan Nobel Prize dari hasil jerih payahnya bertahun-tahun. Itulah kenapa jawabannya ada pada kalian. Itu tugas mulia untuk kalian.” Lagi-lagi Pak Adi tersenyum, “Baiklah, kelas kita cukup sampai di sini. Sekian."

Mahasiswa mulai keluar kelas, dan aku kemudian ikut keluar setelah menyelesaikan catatan di papan tulis. Aku langsung menuju kamar mandi, karena aku terlalu lama menahan sesuatu di kandung kemih. Begitu keluar dari kamar mandi, Koko muncul di depanku. Kemudian mengajakku ke Laboratorium Instrumentasi, "Ngapain di sana?" Aku bertanya pada Koko.

"Aku mau lihat kerjaannya Didi di lab." Koko menjawab singkat. Sepertinya Koko masih penasaran dengan kata-kata Pak Adi di kelas tadi. Raut wajahnya yang mengatakan seperti itu.

Aku dan Koko akhirnya menemukan Didi di dalam lab, dia terlihat sedang membuat sesuatu. Ah, ternyata yang dia buat adalah Line Follower. Sebuah robot beroda yang bisa berjalan mengikuti garis hitam yang dibuat seperti track mobil




"Udah kelar belum?" Koko bertanya pada Didi.

"Sebentar lagi, sensornya agak error nih. Perlu dikalibrasi. Logikanya udah bener. Makanya tadi sudah sempat bisa jalan. Walaupun ada deviasi dari jalur."

"Wah, keren Di! Luar biasa! Beritahu aku ya kalau kau mau tes LF ini." Aku menanggapi Didi dengan semangat. Ah, aku memang suka melihat teknologi seperti ini. Karena itu aku masuk ke fakultas teknik.

"Terus, untuk apa sih kau buat ini? Menang lomba? Dapat uang hadiahnya?" Sudah kuduga, Koko masih terbawa dendam pertanyaan yang di kelas.

Didi hanya tertawa kecil, "Jelas lah aku pengin kedua itu. Kau tahu, seandainya kau melakukan sesuatu tidak dengan tujuan atau cita-cita. Maka kau tidak akan bisa bertahan dalam melakukan sesuatu itu."

"Ah, tapi apalah artinya hadiah. Nyatanya, LF ini tidak bisa memberikan kontribusi nyata dalam masyarakat. Kau buat LF ini hanya untuk kedua tujuan yang sempit. Terbatas keinginanmu terhadap materi." Koko melawan argumentasi dari Didi. Sepertinya aku salah mengikuti ajakan Koko.

"Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu. Santai kawan, materi itu hanya motivasi untukku agar aku bisa menyelesaikan ini dalam jangka waktu tertentu. Jelas, aku memiliki tujuan yang lebih dari itu. Aku pengin membuat perusahaan yang bergerak di bidang energi, sehingga bangsa ini tidak lagi terlunta-lunta menghadapi persoalan energi. Tapi itu tidak akan terwujud kalau tidak ada kegiatan penelitian atau karya teknologi kecil seperti ini." Didi menjawab Koko dengan santai, "Kau tahu, tidak akan seorang Leo Esaki menemukan dioda itu tanpa ada penelitian-penelitian tentang dioda sebelum dia. Kau pikir, Thomas Alva Edison menemukan lampu dengan usaha murni sendiri? Tidak kawan, dia menemukan lampu dikarenakan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh orang lain, seperti penelitian tentang kawat di dalam lampu, isolator, kaca yang tahan akan panas, gas yang bertekanan rendah."

Koko kemudian terdiam. Sepertinya dia tahu kalau dia kalah argumentasi, tapi dari raut wajahnya sepertinya dia akan melempar pertanyaan lainnya. Aku kagum dengan argumentasi dari Didi, memang menjadi seorang peneliti itu tidak mudah. Banyak peneliti di Indonesia yang menemukan hal yang sangat luar biasa, bahkan bisa diakui oleh dunia. Tapi, sayang hasil karya anak bangsa sendiri banyak yang tercampakkan. Karena memang di Indonesia, penghargaan akan hasil karya anak bangsa apalagi di bidang teknik hanya sebatas kata selamat. Tidak ada kelanjutan yang serius. Karena itulah tidak banyak yang bertahan menjadi seorang peneliti.

"Kau tahu, kenapa banyak anak teknik bangsa yang berprestasi lebih memilih berkarya di luar negeri daripada di Indonesia?" Didi kali ini bertanya pada Koko.

"Jelas, karena di luar negeri mereka bisa berkembang daripada di sini."

"Itu salah satunya, tapi yang lebih tepat di luar negeri banyak orang yang berani dan visioner. Mereka tidak akan ragu dan berani berinvestasi ketika karya kita memang memiliki prospek yang bagus. Dan juga mereka lebih menghargai kita, orang Indonesia. Karena orang Indonesia banyak yang berbakat dan juga rendah hati. Karena itu mereka menyukai kita. Ironis bukan?" Didi menjelaskan kepadaku dan Koko.

"Sepakat, karena itulah anak-anak teknik di sini tidak mau berurusan dengan pemerintah, tersangkut-paut dengan dunia politik di Indonesia. Gajinya kecil. Anak-anak teknik lebih suka berkiprah di perusahaan asing, maupun di luar negeri. Padahal kalau menurutku anak teknik itu punya potensi yang luas. Logika yang dimiliki anak teknik itu tidak ada yang menandingi! Tapi tanpa ada peran politik, keadaan seperti ini tidak akan berubah. Padahal hanya anak teknik yang mengerti keadaan anak teknik. Kita mau tidak mau percaya, tidak ada dukungan pemerintah, kita akan berjalan di tempat." Koko menambahkan.

"Sepertinya kau salah jurusan, Ko." Aku menyindir Koko dengan sedikit tertawa.

"Tidak juga, aku bersyukur bisa belajar di fakultas teknik. Kemampuan berlogikaku, tidak bertele-tele, dan juga selalu berdasar data dan hasil riset adalah hasil didikan di fakultas ini. Kemampuan berpolitik bisa didapatkan dari sekolah lain. Ini cukup untuk dijadikan modal." Koko menjawab dengan tegas.

"Jadi, kau bakal jadi politikus nanti?" Aku bertanya heran kepada Koko.

"Jelas! Asal kau tahu, Presiden pertama kita itu anak teknik!" 

"Dan aku siap untuk menjadi partner kau dalam urusan teknologi. Aku akan menjadi engineer yang bisa berbuat banyak di bangsa kita ini." Didi menambahkan.

Aku merinding mendengar dua cita-cita besar yang dikemukakan oleh kedua sahabatku ini. Walaupun mereka berdua memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda, visi dan cita-cita mereka bisa berdampingan seperti ini. Ah, memang suatu perubahan itu selalu bermula dari mimpi dan hal yang kecil.

"By the way, kalian masih pada kenyang? Perutku sudah mulai bernyanyi nih." Aku mengelus perutku yang sedikit buncit. Aku tidak akan mengakui sepenuhnya kalau perutku memang buncit.

Koko dan Didi menertawakan aku yang menderita kelaparan ini. Tapi kemudian Didi menaruh LF yang dari tadi dia kutak-kutik, dan langsung merangkul pundakku dan Koko, "Yuk, aku juga sudah lapar."

0 Komentar:

Post a Comment