Sunday, June 16, 2013

Sore di Sekolah (Part 1)

Kriing..

Bel sekolah berbunyi. Apa lagi yang ditunggu? Para murid mulai keluar dari kelas, satu per satu. Aku, seperti biasa pulang sekolah, aku habiskan dengan bermain bola di lapangan sekolah sampai sore. Iya, aku tekuni hobi ini dari aku masuk SMA. Masalah skillku bermain bola, tidak perlu ditanyakan kembali. Aku jagonya. Seiring perkembangan skillku bermain bola, skillku bermain dengan hati wanitapun juga berkembang. Serasi dan sejalan.

Aku bermain bola, tidak seperti bola yang sebenarnya yang menggunakan lapangan rumput, bola yang keras, dan juga gawang yang super besar. Tapi bermain bola dengan bola plastik, gawang yang seukuran anak SMA, dan juga lapangan semen yang serbaguna. Yang jelas, tim manapun yang aku bermain di dalamnya, pasti akan menang. Yah, aku setidaknya mencetak dua gol setiap pertandingan.

Seperti yang aku bilang. Aku memiliki skill bermain dengan hati wanita, aku memiliki banyak mantan. Entahlah, yang jelas aku lebih senang memperbanyak mantan daripada memperbanyak pacar dalam satu waktu. Merepotkan, pikirku. Aku lebih nyaman pacaran paling lama satu bulan, itu adalah batas yang aku buat sendiri. Karena membangun komitmen itu adalah hal yang menyebalkan. Aku masih SMA, masih banyak yang harus aku lakukan sebelum membangun komitmen.

Akbar, temanku yang sering aku ceritakan kabar percintaanku. Menariknya, dia sangat antusias mendengar ceritaku. Toh, padahal dia tidak pernah pacaran. Mungkin dengan mendengarkan kisahku dengan mantan-mantanku bisa lebih menghibur hatinya yang selalu ditolak wanita, "Jadi, gimana kamu nembak kemaren? Diterima?" Aku bertanya setelah permainan bola berhenti. Keringat mengucur deras dari dahi hingga badan belakangku dan Akbar.

"Ajeng tidak membalasku. Dia tidak menanggapi smsku. Anggap saja aku ditolak. Gampang kan? Ini sudah biasa. Kamu sudah tahu, Lang."

"Tidak, kalau memang ini seperti biasa. Kamu akan menanggapiku dengan lebih bersemangat. Tidak ada helaan napas seperti itu." Aku menolak apa yang dirasakan Akbar, dia terlalu berlebihan.

"Sudahlah."


Iya, kali ini memang berbeda. Ajeng, gadis yang baru saja pindah ke sekolah kami. Dia masuk ke kelas yang sama dengan kami. Kelas dua, jurusan IPA. Menariknya, Ajeng dalam beberapa hari setelah dia pindah, menjadi primadona sekolah. Aku tidak percaya awalnya. Tapi ketika banyak temanku, bahkan Akbar, berani rebutan untuk mendapatkan perhatian Ajeng. Apa sih menariknya dia?

Aku tidak peduli. Gadis seperti Ajeng bisa banyak ditemui dimana saja. Mungkin memang standar gadis primadona sekolah ini perlu ditinjau ulang. Aku yang hebat ini, tidak tertarik dengan gadis itu. Jadi? Yang rebutan mendapatkan dia, tidak perlu kugubris. Tidak level.

***

"Hey, sayang. Makan yuk. Laper nih." Anya memeluk lenganku dari belakang. Sepertinya perut lapar memang bisa membuat orang melakukan kejutan. Aku hanya memberi senyuman, aku mencoba menikmati pelukannya di lenganku, "Kok senyum-senyum aja sih? Ayook doong. Gerak cepet. Jangan lambat."

"Iya. Aku cuma lagi malas gerak cepat. Aku lagi menikmati pelukanmu ini, sayang." Aku mencolek pipinya yang bulat itu, pas di lesung pipitnya.

Anya hanya tersipu malu mendengar perkataanku. Kita berduapun menuju kantin. Sekolah sudah selesai, tapi kantin masih buka. Karena mungkin penjaga kantin tahu kalau dia masih bisa punya pelanggan walaupun sekolah sudah selesai. Ramai, karena banyak yang masih bermain-main di sekolah. Bermain kartu, bola, basket, gosip, dll.

Di perjalanan menuju kantin, aku melihat Akbar dengan gadis itu, Ajeng. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius. Tapi, aku kan tidak peduli. Aku kembali melanjutkan ke kantin.

***

"Gilang! Kamu tahu?" Akbar mendorong bahuku dari belakang, hampir saja bakso yang sedang kumakan tidak loncat keluar dari mulutku.

"Ah, apa? Tahu apa?"

"Ajeng mau sama aku!"

"Oh. Selamat ya." Aku melanjutkan memasukkan bakso terakhir ke dalam mulutku.

"Yah, kok gitu aja sih. Kamu harusnya seneng dong! Akhirnya aku dapat pacar!"

"Iya, senang kok."


Bersambung

0 Komentar:

Post a Comment