Wednesday, June 12, 2013

Kumbang

Ah, sudah lama sekali sepertinya aku tidak bermain di sini. Di tanah kosong sebelah rumah tetanggaku, sekitar 50 meter dari rumahku. Dulu, di sini, aku yang sering bermain dengan anak-anak kampung ini, dan   seorang anak perempuan yang sering melihat kami dari halaman pagarmu, tentu bersama anak-anak perempuan itu, menciptakan suasana sore yang berwarna dan bahagia setiap harinya. 

Tapi lihat, bagaimanakah tempat ini sekarang? Tanah kosong penuh rerumputan, dan satu pohon seri yang besar, yang selalu menjadi tempat nongkrong kita, telah hilang. Semuanya terasa mengecil, tanah kosong, gundukan tanah, batu besar itu, pohon seri. Kecuali rumput liar itu, karena sudah jarang diinjak, makanya sekarang pasir-pasir itu berubah menjadi rumput liar. Sepertinya tempat ini dipersiapkan untuk menjadi suatu bangunan, entahlah, aku juga tidak tahu. Yang jelas ada beberapa karung pasir di ujung tanah kosong ini.

Pohon seri yang sekarang mengecil ini, yang jelas mengingatkanku pada perempuan itu, Rina. Aku mencoba memanjat pohon seri ini, membuka alas kakiku. Karena jelas, tanpa alas kaki itu sangat mempermudah memanjat pohon. Dan benar, aku sudah berada di atas. Aku sampai di dahan utama yang cukup besar dan kuat untuk bisa kutiduri. Aku mengambil posisi untuk tidur, dengan tanganku berperan sebagai bantalan belakang kepalaku. Aku berharap tidak ada yang melihat aku seperti ini, terutama yang memiliki tanah kosong, tentunya juga pohon seri ini. Malu sudah besar ini.


Aku memandang ke atas, dan sesuai perkiraanku. Buah yang sudah ranum memang kebanyakan ada di dahan bagian atas dibanding di bagian bawah. Tapi aku tidak langsung untuk mengambil itu, seketika aku samar mendengar suara Rina dari bawah. Aku kemudian menoleh ke bawah dengan cepat. Ah, ternyata aku kangen dengan Rina.

***

"Kamu lagi di atas, Rin?" 

"Iya, lagi banyak buahnya nih." Jawab Rina, sambil mengunyah beberapa buah seri yang dia ambil.

"Ikut ya? Masih cukup kan? Aku ada sesuatu nih." Aku kemudian melompat dan memanjat dengan satu tangan. Aku berusaha memperlihatkan cara memanjatku yang canggih ini untuk mendapatkan perhatian Rina. Walaupun memang aku sedang tidak bisa menggunakan dua tangan, karena aku menggenggam sesuatu di tangan kiriku.


Dengan cepat aku sudah sampai di atas bersama Rina, "Ke sana dikit dong. Sempit nih."

"Yah, salah sendiri, kenapa gak gantian aja. Malah menuh-menuhin gini." Jawab Rina melempar sisa seri busuk yang dia ambil tadi.

Rina sedang memakai baju olahraga sekolahnya, kaos dan celana training yang bertuliskan nama sekolahnya. Sepertinya dia langsung ke pohon ini selesai pulang sekolah. Rambutnya pun masih di kuncir ke belakang. Dan aku langsung terdiam sejenak ketika melihat dia yang seperti itu. Rambutnya yang hitam, kulitnya yang putih, tapi penuh dengan plester luka. 

"Kamu bisa nebak gak? Apa yang ada di tangan kiriku ini." Aku bertanya, dengan menyodorkan genggaman tangan kiriku yang kutahan dari bawah tadi.

"Apa? Coklat ya?"

"Kamu mah makanan mulu yang dipikirin. Bukan, ini namanya Sedan. Aku biasa memanggilnya seperti itu di kota sebelum aku pindah beberapa tahun yang lalu. Tapi aku sadar di sini biasa disebut Kepik, Tono yang memberitahukanku." Aku membuka perlahan genggaman tangan kiriku.

"Hmm, dia gak terbang ya?" Tanya Rina penasaran, dia mencoba memegangnya, tapi sepertinya dia takut. Dia tidak jadi memegangnya.

"Bisa, cuma aku sudah mencabut sayapnya. Biar gak bisa terbang." Jawab aku santai.

"Jahat. Terus kamu mau apain ini?"

"Aku mau melihara dia, sampai dia punya sayap lagi." Aku tersenyum.

"Kamu mau jadi apa kalau sudah besar?" Tiba-tiba Rina memberi pertanyaan yang berbeda.

"Aku mau jadi dokter serangga!" Jawabku dengan yakin. Hampir saja aku terpeleset jatuh, saking semangatnya aku menjawab itu.

"Aku mau jadi penyanyi dong."

"Hah? Suaramu kan.." Aku menaikan lubang hidungku sebelah, seakan tidak percaya apa yang aku dengar dari Rina. Tapi belum selesai aku berbicara, Tono memanggil dari bawah.

"Heh! Pacaran mulu! Ayok main kasti! Sudah pada datengan nih! Kurang orang." Tono meneriaki kami dari bawah.

"Oya? Okee" Rina menjawab ajakan Tono, dengan sekejap dahan yang dia duduki tadi berubah menjadi pegangan dia untuk turun, kemudian dia melompat ke bawah.

"Tung, tunggu!" Aku yang bingung bagaimana turun dengan cepat, karena aku masih memegang kepik itu di tangan kiriku.


Akhirnya aku terpeleset dan jatuh, untung saja aku jatuh di semak-semak sehingga tidak terlalu sakit, tapi jelas aku lecet terkena ranting semak-semak itu.

***

Aku mengambil beberapa buah seri yang berwarna merah, kemudian aku turun langsung dari dahan tempat aku tidur. Ah, sekarang pohon ini tidak setinggi dulu, aku bisa langsung turun begini. Aku mencari kepik di tanah kosong ini, aku mengitarinya beberapa kali, memeriksannya dengan teliti. Apakah kepik ini masih hidup di jaman sekarang. Aku yang baru saja lulus dari fakultas kedokteran hewan, baru menyadari ternyata kepik yang kusebut dulu adalah bernama Ladybug atau dalam bahasa Indonesia adalah Kumbang Koksi. Yang sangat berbeda dengan spesies kepik yang sebenarnya.

Aku tidak menemukan kumbang koksi itu sekarang. Entah. Sekarang ada dimana.

Aku yang mengetahui Rina sekarang ada di dunia pertelevisian. Merasa semakin jauh dengannya. Entah, ini dilema bagiku. Senang, dia bisa memenuhi cita-citanya dulu, sama ketika aku bisa memenuhi cita-citaku, walaupun aku belum benar-benar menjadi dokter serangga. Sedih, ketika aku bingung bagaimana bisa menghubunginya sekarang. Ah, sudahlah. Yang jelas tanah ini pernah menjadi sarang kumbang koksi yang sudah jarang muncul. Sukses Rina! Tetaplah rendah hati dan bahagia dengan suamimu itu!

0 Komentar:

Post a Comment